GERAKAN OUIKEMENE YANG ARSITEKNYA VATIKAN
kita melihat bahwa orang-orang Pentakosta dahulunya merupakan bahaya besar bagi Vatikan. Bukan karena karunia bahasa lidah mereka, melainkan karena pengajaran mereka tentang pemisahan dan kekudusan yang sangat ditakuti oleh Vatikan. Dahulu pendeta Pentakosta menghancurkan mereka dari atas mimbar, terutama dalam pertemuan-pertemuan. Tapi celakanya, kini Vatikan berhasil mengendalikannya. Perhatikan sekarang mereka sudah tidak berbicara mengenai pemisahan (dari gereja sesat) lagi, tetapi persatuan dan kesatuan dengan mereka! Jangan kita pikir penyusupan hanya terjadi dalam kelompok Gerakan Ouikemene, Karismatik, yang arsiteknya adalah Vatikan. Kelompok Pentakosta, Fundamentalis, dan penginjil-penginjil baru pun telah terkena polusinya. Perhatikan saja sikap penginjil dan pemimpin besar gereja terhadap kunjungannya paus ke Amerika. Apakah mereka tetap diam atau bersuka cita atas kunjungannya yang menunujukkan hormat? Vatikan bekerja sama dengan mereka dan melalui mereka. Kiranya Tuhan membuka mata kita dan waspada akan hal itu.
Para ahli Kekristenan yang mengetahui tentang agama-agama palsu, yang mengaku melindungi Tubuh Kristus dari ajaran-ajaran sesat, sekalipun mengerti benar bahwa Katolik Roma adalah penyembah baal dengan kedok Kekristenan, tidak mau memperingatkan orang lain. Hanya ada beberapa gelintir saja yang berusaha berbuat itu, sedang yang lainnya kebanyakan takut atau mungkin mereka justru agennya. Lihat saja bukti nyata perubahan yang dilakukannya secara sengaja terhadap 10 Hukum. Hukum Tuhan bercampur aduk dan sangat membingungkan karena adanya gagasan manusia (Tradisi), tak seorangpun menyadari apa yang sedang terjadi. Umat Protestan telah dipengaruhi dan dikelabui oleh sistem-sistem penyembahan berhala yang secara diam-diam mendapat tempat berpijak dalam gereja mereka. Roma Khatolik mewarisi tabiat kekafiran Roma masa lalu, bahkan berpengaruh luar biasa atas pemerintahan Romawi. Orang Israel bukan saja menjadi budak orang Romawi, tapi juga budak para pemimpin agama Yahudi. Yesus me rupakan ancaman serius bagi para pemimpin agama Yahudi karena berani menyatakan kebenaran dan menyingkapkan kedok tipuan keagamaan mereka yang jahat. Mereka harus membungkam-Nya. Yesus menuntut pertobatan dan pemisahan total. Tetapi sayang sekali, sekarang ini hal tersebut jarang diajarkan dalam gereja-gereja, sekolah Kristen, seminari atau sekolah Alkitab. Sebaliknya mereka justru mengajarkan: “Sekarang adalah masa persaudaraan. Gereja-gereja mulai bersatu di bawah Roh Yesus … seperti yang anda lihat, Tuhan tidak pilih kasih … Katolik, Yahudi maupun seluruh Gerja Protestan semuanya sama, semuanya ada dalam satu keluarga besar Tuhan! Inilah pemulihan yang sedang melanda dunia ! Slogan-slogan seperti ini sangat popular dalam gerakan persekutuan Ouikemene dan Karismatik.
Para pemimpin dunia bukan saja takut kepada paus dan antek-anteknya, tetapi juga takut kepada kekuatan ekonomi Lembaga Katolik Roma yang berada di bawah bendera Vatikan. Vatikan adalah suatu pemerintahan yang berdaulat, suatu Negara yang secara politik di mana setiap orang Katolik otomatis menjadi anggota/rakyatnya pada saat dia dibaptis. Kesetiaanya yang pertama adalah kepada Vatikan, kemudian baru pada Negara tempat dilahirkan. Kekayaan Vatikan sampai mencapai trilyunan dolar.
Menurut sejarah maupun nubuatan, si pelacur besar itu dalam Wahyu 17:6 (Dan aku melihat perempuan itu mabuk oleh darah-darah orang kudus dan darah-darah orang kudus dan darah-darah Saksi Yesus). Iblis memakai vatikan untuk menyebar maut di antara orang-orang Kristen sejati. Wahyu 18:2-3: Dan ia berseru dengan suara yang kuat, katanya: “Sudah rubuh, sudah rubuh Babel, kota besar itu, dan ia telah menjadi tempat kediaman roh-roh jahat dan tempat bersembunyi semua roh najis dan tempat bersembunyi segala burung najis dan yang dibenci, karena semua bangsa telah minum anggur hawa nafsu cabulnya dan raja-raja di bumi telah berbuat cabul dengan dia, dan pedagang-pedagang di bumi telah menjadi kaya oleh kelimpahan nafsunya.”
Hanya sedikit orang yang menyadari bahwa Vatikan secara rahasia bersekutu dengan ILLuminati, Masonry, Komunis, Zionis dengan cabang-cabang mereka untuk mengendalikan perbankan dan perdagangan dunia. Sistem agama ini sangat berkelimpahan. Dia mengontrol segala sesuatu. Mereka juga menggunakan media masa untuk memanipulasi hampir setiap manusia di dunia ini. Tujuan akhirnya yang utama adalah Gereja & Negara bersatu, satu pemerintahan dunia dan satu Gereja Katholik di bawah bendera Vatikan. Kemudian sistem ini hanya tinggal menghadapi satu-satunya musuh besar, yaitu orang-orang Kristen yang benar-benar Alkitabiah, yang tidak sudi bersekutu dan tunduk pada sistem mereka.
Bila masa inkuisi terakhir dimulai, dengan licik Vatikan merencanakan untuk menggunakan perangkat hokum demi mencegah kelompok-kelompok kecil orang Kristen mendapat tempat berlindung. Vatikan dan antek-anteknya akan menutup pintu tersebut dengan menggunakan agen-agen Jesuit lainnya. Alberto mengenal salah satu dari mereka adalah, Jim Jones. Jones adalah seorang diakon (awam yang bertugas di bawah sumpah) Jesuit.
Bunuh diri masal di Jonestown telah direncanakan dengan rapih sebagai suatu kasus militer, agama dan politik. Kebenaran dibalik peristiwa itu sangat dirahasiakan. Kaset Dr. Beter (seorang katolik) menerangkan alasan-alasan militer mengapa perhitungan mayat meningkat setelah sebuah logistik persenjataan Rusia antara Jonestown dan Georgetown dimusnahkan, segera setelah peristiwa pembunuhan masal itu. Alberto percaya satu-satunya bukti yang dapat dipercaya ialah kaset Dr. Beter itu.
Jim Jones adalah seorang murid “Father Divine (seorang pengkhotbah yang dirasuk iblis, yang berkecimpung dalam kuasa gelap). Jones adalah seorang dukun dan agen Jesuit yang terlatih. Dia menyusup ke dalam Karismatik dan Ouikemene dan selalu mengkhotbahkan Injil Kasih. Kebanyakan pengikutnya adalah orang Katolik dan yang berlatar belakang Katolik, sisanya adalah orang-orang Protestan dari berbagai denominasi yang belum diselamatkan.
Pada tahun 1953 Jim Jones mendirikan gereja The Christian Assembly of God (Gereja Sidang Jemaat Allah). Pada tahun 1962 dia menjadi misionaris ke Brasil, bekerja sama dengan gereja “The Christian Assembly of God” yang dia dirikan. Tahun 1964 dia ditahbiskan di bawah gereja “The Disciples of Christ (Gereja Kerasulan), yang tokoh-tokonya adalah orang Katolik Roma. Seperti layaknya seorang Jesuit yang baik, dia memerintahkan pengikutnya menyebut dirinya ‘bapak’ dan berdoa kepadanya.
Bukankah suatu yang aneh, kalau dia yang hanya seorang pemimpin gereja kecil dan tidak terkenal, dapat menarik perhatian orang-orang penting dan kalangan penting dan agama seperti Ny. Rosalyn Carter (mewakili presiden Amerika saat itu), gubernur Jerry Brown (didikan Jesuit) Mayor Moscone dari San Fransico, para senator, anggota DPR, jaksa agung dan lain-lain. Dia juga didukung oleh beberapa pemimpin agama.
Dr. Alberto yakin bahwa semuanya ini adalah rangkaian persiapan untuk bunuh diri masal di Jonestown untuk menarik perhatian dunia. Jim Jones merencanakan dan mempersiapkan diri (Di bawah perintah Vatikan) untuk mengorbankan domba-dombanya demi menggenapi sumpah Jesuitnya. Setelah peristiwa itu, dunia gempar. Press dan TV di seluruh dunia langsung menyatakan bahwa Jim Jones adalah seorang maniak Fundamentalist Alkitab. Akibatnya, dengan cepat gereja-gereja fundamentalist dicurigai. Suatu persengkokolan yang keji. Seruan muncul agar tokoh politik mengeluarkan peraturan yang melarang kelompok-kelompok tertentu mengadakan retreat dan sebagainya. Dengan cara ini, Katolik Roma berharap supaya orang-orang Kristen sejati tidak mempunyai tempat bernaung bila masa penganiayaan yang dilakukan oleh Vatikan tiba.
Secara langsung kita telah dikhianati karena para pemimpin gereja tidak memperingatkan hal ini pada umatnya. Mereka tidak pernah menyinggung hal-hal ini di media cetak maupun radio dan TV. Sebab kebanyakan dari mereka bukanlah orang Kristen yang benar. Mereka mengetahui kebenaran itu, tetapi takut kehilangan pengikutnya. Di samping itu mereka juga membutuhkan dukungan dari pihak Vatikan agat dapat tetap hidup. Mereka bahkan membuat orang Katolik Roma sudah selamat. Ironis menang. Kita sebagai orang percaya harus mengampuni dan berdoa untuk mereka. Kita tidak berhak untuk menghakimi mereka, Tuhanlah Hakimnya.
Kapankah orang-orang Protestan berhenti menyanjung para pemimpin mereka? Orang-orang Protestan sedang menghadapi masa yang paling membahayakan dalam sejarahnya. Mereka tanpa sadar sedang bergerak menuju ke arah si pelacur besar dalam Wahyu 17. Sudah saatnya setiap pendeta wajib membunyikan tanda bahaya dalam khotbanya mengenai pertobatan dan penyerahan diri total pada Kristus, benar-benar memisahkan diri dari dunia, atau bilamana tidak mereka akan tersesat.
Hati Alberto (Mantan Jesuit) hancur melihat orang-orang Katolik Roma yang sebenarnya setia dan sungguh-sungguh, namun telah dikhianati oleh Kristus Palsu yang bertahta di Vatikan, yang memberikan harapan palsu kepada mereka. Para paus dan imam-imamnya telah mengajarkan bahwa Lembaga Katholik Roma plus Kristus yang dapat membawa mereka ke surga. Vatikan tetap saja mengajarkan bahwa di luar Lembaga Katholik Roma tidak ada keselamatan. Hanya Kristus sajalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan manusia.
Lampiran; Double Cross – Dr. Rivera Albertos (Ex – Jesuit Katholik Roma)
Minggu, 18 April 2010
Divine Rest for Human Restlessness
Divine Rest for Human Restlessness
(Isrirahat Ilahi bagi Manusia yang tanpa Istirahat)-
Karena adanya hari matahari yang menyaingi hari Saturnus (Saturday) yang terjadi pada awal abad kedua itu adalah sejalan dengan penerapan pemeliharaan hari Minggu oleh orang orang Kristen menggantikan hari Sabat, sebuah pertanyaan timbul: Apakah peningkatan posisi hari matahari menjadi hari pertama dalam pekan mungkin mempengaruhi orang Kristen yang ingin membedakan diri mereka dari hari Sabatnya orang Yahudi, dengan memelihara hari yang sama ini untuk kebaktian mingguan?
Ada beberapa indikasi yang menyokong dugaan ini. Secara tidak langsung, dukungan ada dari pimpinan agama terhadap pemujaan orang Kristen terhadap matahari, dengan mengadopsi lambang matahari dari literatur Kristen untuk melambangkan Kristus. Juga dengan adanya perubahan orientasi berdoa dari Jerusalem ke Timur, dan dengan penetapan hari Natal yang berasal dari pesta kafir. Indikasi yang lebih jelas ialah seringnya lambang matahari digunakan untuk mensahkan pemeliharaan hari Minggu. Justin Martyr (sekitar thn 100-165) menekankan supaya orang Kristen berkumpul “pada hari Matahari…karena inilah hari pertama ketika Allah, merubah kegelapan dan ketiadaan, menciptakan dunia”.
Hubungan yang dibuat Justin diantara hari Matahari dan penciptaan terang pada hari pertama bukanlah kebetulan, karena beberapa pemimpin agama yang kemudian menyatakan hubungan yang sama. Eusebius (sekitar thn 260-340), contohnya, beberapa kali merujuk terang terangan kepada motif dari terang dan hari Matahari untuk mensahkan kebaktian hari Minggu. Pada komentar Eusebius atas kitab Mazmur, dia menulis: “Pada hari yang terang ini, hari pertama dan hari sesungguhnya dari matahari, bilamana kita berkumpul setelah enam hari bekerja, kita merayakan hari Sabat yang suci …kenyataannya, pada hari pertama penciptaan dunia inilah Allah mengatakan: “Jadilah terang and terangpun jadilah. Pada hari ini jugalah Matahari Keadilan telah naik untuk jiwa kita”.
Hal ini dan tulisan tulisan yang sejenis menunjukkan bahwa pilihan hari Minggu dimotivasi oleh waktu yang tepat dan lambang yang efektif yang hari Minggu telah sediakan untuk memperingati dua kejadian penting dalam sejarah keselamatan: penciptaan dan kebangkitan. Jerome (sekitar thn 342-420) menyebutkan dua alasan ini dengan jelas : Hari yang disebut sebagai hari Matahari oleh orang kafir, kita akan mengakuinya, karena pada hari ini terang dunia telah muncul dan pada hari ini juga Matahari Keadilan telah terbit”.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari investigasi kami adalah bahwa penetapan pemeliharaan hari Minggu menggantikan hari Sabat telah terjadi, bukan di Gereja Jerusalem oleh otoritas kerasulan untuk memperingati kebangkitan Yesus, tetapi telah terjadi di gereja Roma selama awal abad ke dua, didukung oleh hal hal eksternal. Intrik politik, sosial, agama kafir, dan faktor Kristen – sama dengan masalah tanggal 25 Desember sebagai hari lahirnya Kristus – mendorong dipeliharanya hari Minggu sebagai hari kebaktian yang baru. Adanya fakta bahwa pemeliharaan hari Minggu berdasar pada kriteria yang meragukan dan bukan merupakan perintah Alkitab menyebabkan kesulitan yang besar dialami oleh para pemimpin agama untuk menjelaskan alasan teologis yang kuat yang tidak dapat dibantah demi menganjurkan pemeliharaan hari Suci Allah dengan baik. Kalau begitu, apa yang dapat dilakukan untuk mendidik dan memotivasi orang Kristen untuk memelihara hari Suci Allah bukan hanya datang di gereja pada jam kebaktian tetapi sebagai hari yang utuh untuk beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani?
Proposal dari studi kami adalah untuk memimpin manusia menemukan kembali dan mengalami arti, fungsi, dan berkat berkat dari hari Sabat Alkitabiah: hari yang diciptakan bukan untuk jam kebaktian saja untuk menunjukkan perbedaan atau penghinaan terhadap orang lain, tetapi sebagai pilihan Khalik yang jelas untuk 24 jam sehari penuh beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani keperluan orang orang yang kekurangan. Studi kami telah menemukan bahwa perhatian utama hari Sabat untuk orang orang percaya adalah untuk berhenti dari pekerjaan harian supaya dapat beristirahat dalam Tuhan. Dengan membebaskan diri kita dari pekerjaan mencari nafkah setiap hari, hari Sabat membebaskan kita dan kita menyediakan diri untuk Tuhan, untuk diri kita sendiri, dan untuk orang lain, sehingga menyanggupkan kita mengalami kehadiran Khalik dan persekutuan dengan sesama manusia.
Perbedaan hari Sabat dan hari Minggu bukanlah hanya perbedaan nama dan nomor, tetapi adalah perbedaan otoritas, arti, dan pengalaman. Hal ini adalah perbedaan diantara hari libur ciptaan manusia dan hari Suci yang ditetapkan oleh Allah. Perbedaan diantara sebuah hari yang dihabiskan untuk memuaskan diri sendiri dan sebuah hari yang disediakan untuk melayani Allah dan manusia. Ini adalah perbedaan diantara pengalaman sebuah hari tanpa istirahat dan sebuah hari Istirahat Khalik untuk Manusia yang tidak mempunyai istirahat.
(Isrirahat Ilahi bagi Manusia yang tanpa Istirahat)-
Karena adanya hari matahari yang menyaingi hari Saturnus (Saturday) yang terjadi pada awal abad kedua itu adalah sejalan dengan penerapan pemeliharaan hari Minggu oleh orang orang Kristen menggantikan hari Sabat, sebuah pertanyaan timbul: Apakah peningkatan posisi hari matahari menjadi hari pertama dalam pekan mungkin mempengaruhi orang Kristen yang ingin membedakan diri mereka dari hari Sabatnya orang Yahudi, dengan memelihara hari yang sama ini untuk kebaktian mingguan?
Ada beberapa indikasi yang menyokong dugaan ini. Secara tidak langsung, dukungan ada dari pimpinan agama terhadap pemujaan orang Kristen terhadap matahari, dengan mengadopsi lambang matahari dari literatur Kristen untuk melambangkan Kristus. Juga dengan adanya perubahan orientasi berdoa dari Jerusalem ke Timur, dan dengan penetapan hari Natal yang berasal dari pesta kafir. Indikasi yang lebih jelas ialah seringnya lambang matahari digunakan untuk mensahkan pemeliharaan hari Minggu. Justin Martyr (sekitar thn 100-165) menekankan supaya orang Kristen berkumpul “pada hari Matahari…karena inilah hari pertama ketika Allah, merubah kegelapan dan ketiadaan, menciptakan dunia”.
Hubungan yang dibuat Justin diantara hari Matahari dan penciptaan terang pada hari pertama bukanlah kebetulan, karena beberapa pemimpin agama yang kemudian menyatakan hubungan yang sama. Eusebius (sekitar thn 260-340), contohnya, beberapa kali merujuk terang terangan kepada motif dari terang dan hari Matahari untuk mensahkan kebaktian hari Minggu. Pada komentar Eusebius atas kitab Mazmur, dia menulis: “Pada hari yang terang ini, hari pertama dan hari sesungguhnya dari matahari, bilamana kita berkumpul setelah enam hari bekerja, kita merayakan hari Sabat yang suci …kenyataannya, pada hari pertama penciptaan dunia inilah Allah mengatakan: “Jadilah terang and terangpun jadilah. Pada hari ini jugalah Matahari Keadilan telah naik untuk jiwa kita”.
Hal ini dan tulisan tulisan yang sejenis menunjukkan bahwa pilihan hari Minggu dimotivasi oleh waktu yang tepat dan lambang yang efektif yang hari Minggu telah sediakan untuk memperingati dua kejadian penting dalam sejarah keselamatan: penciptaan dan kebangkitan. Jerome (sekitar thn 342-420) menyebutkan dua alasan ini dengan jelas : Hari yang disebut sebagai hari Matahari oleh orang kafir, kita akan mengakuinya, karena pada hari ini terang dunia telah muncul dan pada hari ini juga Matahari Keadilan telah terbit”.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari investigasi kami adalah bahwa penetapan pemeliharaan hari Minggu menggantikan hari Sabat telah terjadi, bukan di Gereja Jerusalem oleh otoritas kerasulan untuk memperingati kebangkitan Yesus, tetapi telah terjadi di gereja Roma selama awal abad ke dua, didukung oleh hal hal eksternal. Intrik politik, sosial, agama kafir, dan faktor Kristen – sama dengan masalah tanggal 25 Desember sebagai hari lahirnya Kristus – mendorong dipeliharanya hari Minggu sebagai hari kebaktian yang baru. Adanya fakta bahwa pemeliharaan hari Minggu berdasar pada kriteria yang meragukan dan bukan merupakan perintah Alkitab menyebabkan kesulitan yang besar dialami oleh para pemimpin agama untuk menjelaskan alasan teologis yang kuat yang tidak dapat dibantah demi menganjurkan pemeliharaan hari Suci Allah dengan baik. Kalau begitu, apa yang dapat dilakukan untuk mendidik dan memotivasi orang Kristen untuk memelihara hari Suci Allah bukan hanya datang di gereja pada jam kebaktian tetapi sebagai hari yang utuh untuk beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani?
Proposal dari studi kami adalah untuk memimpin manusia menemukan kembali dan mengalami arti, fungsi, dan berkat berkat dari hari Sabat Alkitabiah: hari yang diciptakan bukan untuk jam kebaktian saja untuk menunjukkan perbedaan atau penghinaan terhadap orang lain, tetapi sebagai pilihan Khalik yang jelas untuk 24 jam sehari penuh beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani keperluan orang orang yang kekurangan. Studi kami telah menemukan bahwa perhatian utama hari Sabat untuk orang orang percaya adalah untuk berhenti dari pekerjaan harian supaya dapat beristirahat dalam Tuhan. Dengan membebaskan diri kita dari pekerjaan mencari nafkah setiap hari, hari Sabat membebaskan kita dan kita menyediakan diri untuk Tuhan, untuk diri kita sendiri, dan untuk orang lain, sehingga menyanggupkan kita mengalami kehadiran Khalik dan persekutuan dengan sesama manusia.
Perbedaan hari Sabat dan hari Minggu bukanlah hanya perbedaan nama dan nomor, tetapi adalah perbedaan otoritas, arti, dan pengalaman. Hal ini adalah perbedaan diantara hari libur ciptaan manusia dan hari Suci yang ditetapkan oleh Allah. Perbedaan diantara sebuah hari yang dihabiskan untuk memuaskan diri sendiri dan sebuah hari yang disediakan untuk melayani Allah dan manusia. Ini adalah perbedaan diantara pengalaman sebuah hari tanpa istirahat dan sebuah hari Istirahat Khalik untuk Manusia yang tidak mempunyai istirahat.
Perubahan Dari Hari Sabat ke Hari Minggu
Perubahan Dari Hari Sabat ke Hari Minggu
Pertanyaan mengenai bagaimana dan kapan hari pertama dalam pekan – hari Minggu – gantinya hari yang difirmankan dalam Alkitab – hari Sabat - menjadi hari istirahat dan kebaktian dari mayoritas orang Kristen, telah lama menjadi perdebatan. Khususnya pada tahun tahun belakangan ini, banyak studi, termasuk beberapa disertasi doktoral, telah mengkaji ulang pertanyaan ini. Tulisan ini, yang berusaha untuk memastikan dasar dasar Alkitabiah dan sejarah terjadinya pemeliharaan hari Minggu mungkin merupakan refleksi dari keinginan untuk menguji kembali keabsahan dan relevansi pemeliharaan hari Minggu pada saat tekanan tekanan sosial dan ekonomi sedang menyoroti masalah ini.
Pandangan historis tentang asal usul hari Minggu
Secara tradisi, pemeliharaan hari Minggu sebagai ganti Sabat hari ketujuh telah lebih sering dihubungkan dengan perintah gereja daripada perintah Alkitabiah. Thomas Aquinas, contohnya, menyatakan dengan spesifik: “Dalam hukum baru pemeliharaan hari tuhan mengganti pemeliharaan hari Sabat, bukan karena perintah Alkitab (hukum ke empat) tetapi oleh lembaga gereja”. Pandangan yang sama diulangi tiga abad kemudian dalam Katekismus Konsili Trent (1566) yang menyatakan, “adalah hal yang menggembirakan gereja tuhan bahwa perayaan keagamaan hari Sabat diganti oleh hari tuhan”. Selama kontroversi teologis pada abad ke enam belas, para teologis Katolik sering merujuk kepada asal usul hari Minggu yang berdasar pada perintah gereja ini untuk menunjukkan kekuatan gereja mereka dalam memberlakukan hukum hukum dan upacara upacara baru. Gaung dari kontroversi itu bahkan dapat kelihatan dalam buku Lutheran yang bersejarah, yaitu Pengakuan Augsburg (Augsburg Confession, 1530) yang menyatakan: “Mereka (orang Katolik) merujuk kepada hari Sabat sepertinya sudah diganti oleh hari tuhan, bertentangan dengan Sepuluh Hukum. Sungguh besar kekuatan gereja itu karena merubah satu hukum dari Hukum Sepuluh !
Pengakuan Augsburg mengakui asal usul yang berdasar pada perintah gereja untuk pemeliharaan hari Minggu dan menerima hak gereja untuk memberlakukan peraturan peraturan seperti pemeliharaan hari Minggu tetapi menolak wewenang gereja untuk menghubungkan pemeliharaan sebuah hari suci kepada sesuatu yang diperlukan untuk keselamatan. Serupa dengan itu Calvin melihat hari Minggu lebih sebagai lembaga manusia daripada lembaga ke Allah an. Dalam bukunya “Institutes of the Christian Religion”, Calvin menerangkan:”Mudah sekali untuk membuang spiritisme, hari libur Yahudi dihilangkan, dan untuk mempertahankan ketertiban dan kedamaian dalam gereja…orang orang Kristen yang mula mula mengganti hari Sabat dengan hari yang sekarang kita kenal sebagai hari tuhan”.
Pada abad abad setelah Reformasi, dua pandangan utama yang saling bertentangan telah diperdebatkan dengan hangat, mengenai asal usul dan alamiah dari hari Minggu. Pandangan pertama menetapkan bahwa hari Minggu berasal dari wewenang Allah pada saat saat awal kekristenan untuk memperingati kebangkitan Tuhan Yesus pada hari pertama dalam pekan. Pendukung pandangan ini secara umum mempertahankan pendapat hari Minggu sebagai pengganti yang sah dari Sabat hari ketujuh. Beberapa teologis terkenal yang mendukung pandangan ini adalah Erasmus (1536), Theodore Beza (1605), Nicolas Bownde (1607), Jonathan Edwards (1758), William Paley (1805), dan James Augustus Hessey (1860) dan lain lain.
Pandangan yang kedua menganggap hari Minggu sebagai lembaga gereja, tidak tergantung pada Hukum Ke Empat. Beberapa pendukung pandangan ini menempatkan asal usul hari Minggu pada jaman rasul-rasul, tetapi beberapa dari mereka menempatkannya pada jaman setelah rasul-rasul. Alasan untuk pandangan ini kebanyakan bersifat praktis, yaitu untuk menyediakan waktu bebas bagi kebaktian publik dan istirahat untuk para pekerja. Pada umumnya pandangan ini mendorong pemeliharaan hari Minggu yang lebih longgar, membolehkan seseorang bekerja, berolahraga, dan menikmati hiburan. Beberapa pendukung yang terkenal dari pandangan ini adalah gereja Katolik, Luther (1546), Calvin untuk beberapa aspek (1564), John Prideaux (1650), Hugo Grotius (1645), William Domville (1850), dan E.W. Hengstenberg (1869) dan lain lain.
Perdebatan tentang asal usul dan alamiah dari hari Minggu belum selesai sama sekali. Baru baru ini sebuah karya besar telah muncul pada kedua sisi Atlantik dengan tujuan utama untuk menerangkan sejarah terjadinya dan dasar teologis dari pemeliharaan hari Minggu. Keterangan keterangan ini pada dasarnya adalah refleksi dari dua pandangan historis yang diterangkan diatas. Pandangan yang pertama, didukung oleh cendekiawan seperti J. Francke, F.N. Lee, S.C. Mosna, Paul K. Jewett dan kerja sama antara R.T. Beckwith dan W. Stott, berpendapat bahwa hari Minggu adalah lembaga Alkitabiah yang berasal dari kebangkitan Tuhan Yesus pada hari pertama dalam pekan sebagai pengganti yang sah dari Sabat hari ketujuh. Akibatnya, hari Minggu dianggap sebagai Sabat orang Kristen yang harus dipelihara sesuai dengan Hukum ke Empat. Pandangan yang kedua berbeda dengan pandangan yang pertama karena pandangan ini meminimalisasi dasar Alkitabiah untuk pemeliharaan hari Minggu dan menyangkal adanya hubungan antara hari Minggu dan Hukum ke Empat. Pandangan ini menyatakan bahwa hari Minggu, berbeda dengan hari Sabat, bukan berasal sebagai hari istirahat tetapi sebagai waktu yang singkat untuk kebaktian yang terjadi sebelum atau sesudah jam jam kerja. Hanyalah pada abad ke empat hari Minggu menjadi hari istirahat sebagai akibat dari dekrit kaisar Constantine pada tahun 321. Para pendukung pandangan yang kedua ini menempatkan sejarah terjadinya hari Minggu pada waktu yang berbeda. Willy Rordorf, sebagai contoh, berpendapat bahwa kebaktian hari Minggu dimulai berbarengan dengan kebangkitan Kristus yang diasumsikan memberikan sebuah pola untuk perayaan ekaristi regular pada setiap hari Minggu.
Sebuah simposium yang monumental (700 halaman) yang disponsori oleh Kelompok Tyndale untuk Penelitian Alkitab di Cambridge, Inggris dan ditulis oleh para professor, seperti D.A. Carson, Harold H.P. Dressler, C. Rowland, M.M.B. Turner, D.R de Lacey, A.T. Lincoln, dan R. J. Bauckham, menyimpulkan bahwa “dapat dibayangkan dengan jelas bahwa pemeliharaan hari Sabat hari pertama …dimulai sebelum persidangan Jerusalem (49 AD). Tetapi kita tidak dapat berhenti disini. Kita harus terus mempertahankan pendapat bahwa pemeliharaan hari Sabat pertama sama sekali tidak mudah dimengerti sebagai fenomena pada jaman kerasulan dan merupakan wewenang kerasulan”. Hiley H. Ward mengusulkan waktu yang lebih kemudian untuk asal usul pemeliharaan hari Minggu dalam bukunya Space-age Sunday. Dia berpendapat bahwa hari Minggu tidak muncul sebagai perkiraan tetapi sebagai antitesis dari hari Sabat, pada saat diantara perang Yahudi yang pertama (70AD) dan kedua (135AD). Faktor utama yang memicu kebaktian hari pertama adalah ‘kenyamanan’, yaitu, keperluan praktis untuk melepaskan hubungan dengan orang Yahudi pada saat pemerintahan Roma menindas orang Yahudi sehubungan dengan pemberontakan yang sering terjadi.
Sehubungan dengan berlanjutnya perdebatan perdebatan ini, studi ini mewakili usaha baru yang ingin menjelaskan waktu, tempat, dan sebab sebab dari asal usul kebaktian hari Minggu. Apakah asal usulnya bermula di Jerusalem pada jaman rasul rasul dengan kewenangan mereka untuk memperingati kebangkitan Kristus dengan cara perayaan perjamuan Tuhan ? atau apakah asal usulnya dimulai pada saat saat berikutnya, pada sebuah tempat, dan karena faktor faktor yang berbeda? Penjelasan dan verifikasi tentang sejarah kejadian pemeliharaan hari Minggu sangatlah penting, karena hal ini tidak hanya menjelaskan mengenai asal usul tetapi juga dapat menjelaskan apakah pemeliharaan hari Minggu ini dapat diterapkan pada keKristenan dewasa ini.
Kebangkitan Tuhan Yesus dan Asal Usul hari Minggu
Kebangkitan Tuhan Yesus yang terjadi pada hari pertama dalam pekan, pada umumnya dianggap sebagai faktor dasar yang menentukan permulaan ditinggalnya pemeliharaan hari Sabat menuju pada kebaktian hari Minggu. Apakah sumber sumber dokumenter pada saat itu mendukung anggapan ini? Penelaahan saya terhadap sumber sumber ini menunjukkan bahwa anggapan ini lebih berdasar pada fantasi daripada kenyataan. Tidak ada informasi yang dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (PL) yang menganjurkan untuk memperingati kebangkitan Kristus pada hari terjadinya. Kenyataannya, dalam PL hari Minggu tidak pernah disebutkan sebagai ‘hari kebangkitan’ tetapi selalu disebut sebagai ‘hari pertama dalam pekan’. PL tidak pernah menganjurkan supaya Perjamuan Kristus diperingati pada hari Minggu, juga tidak pernah menyatakan bahwa Perjamuan Kristus diadakan untuk memperingati kebangkitan Kristus. Paulus, yang menyatakan bahwa ‘dia akan menyampaikan apa yang dia terima dari Tuhan (1 Kor 11:23) berulang ulang menyatakan bahwa upacara itu dirayakan pada saat dan hari yang tidak ditentukan (1 Kor 11:18,20,33,34).
Apakah kenyataan bahwa Kristus bangkit pada hari Minggu menyiratkan ‘perintah’ supaya orang Kristen merayakan peristiwa itu dengan beristirahat dan berbakti pada hari pertama dalam pekan? Kelihatannya peristiwa kebangkitan lebih mengisyaratkan kerja daripada istirahat. Mengapa? Paling sedikit ada dua alasan.
Pertama, peristiwa ini lebih menandai dimulainya pelayanan Kristus yang baru, bukannya penyelesaian dari misi Kristus di bumi yang terjadi pada hari Jumat sore ketika Juruselamat mengatakan ‘Sudah selesai’ (Yoh 19:30) dan kemudian beristirahat dalam kubur. Sebagai hari pertama penciptaan sebagaimana juga hari pertama misi Kristus yang baru, hal hal ini lebih menyiratkan bekerja daripada istirahat.
Kedua, sabda penting dari Tuhan yang telah Bangkit mengandung ajakan BUKAN untuk ‘datang dan merayakan kebangkitanKu’ tetapi malahan ‘pergi dan kabarkan ke sanak saudaraKu untuk datang ke Galilea’ (Matius 28:10; Mark 16:7); ‘Pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridKu, baptiskan mereka… (Mat 28:19 ; Mark 16:15); ‘pergilah kepada sanak saudaraKu’ (Yoh 20:17); ‘gembalakanlah domba dombaKu’ (Yoh 21:17). Tidak satupun dari himbauan himbauan ini mengajak untuk merayakan kebangkitan dengan berbakti atau beristirahat pada hari Minggu.
Apakah kebangkitan Kristus telah dirayakan pada jaman Perjanjian Baru (PB), pada saat perayaan Paskah seperti yang banyak orang Kristen lakukan dewasa ini? Kelihatannya tidak mungkin. Paulus menghimbau orang Kristen di Korintus untuk ‘merayakan festival Paskah’ yang di dalamnya Kristus, domba Paskah kita, telah dikorbankan’ (1 Kor 5:7,8). Adalah pengorbanan Kristus yang secara eksplisit dikaitkan dengan Paskah, bukan kebangkitanNya. Arti yang sama dari Paskah terdapat dalam dokumen-dokumen di negara negara Barat dan Timur yang mempersoalkan perayaaan festival ini. Buku apokripa yang berjudul ‘Epistle of the Apostles’ (thn 150AD) menyebutkan ‘rayakanlah peringatan kematianku’, i.e. Paskah. Penderitaan dan kematian Yesus juga mengilhami tema tema yang berulang dari buku karangan Melito ‘Sermon on the Passover’ (khotbah Paskah) (thn 170 AD) dimana sebutan Paskah diterangkan dengan salah sebagai turunan dari kata kerja ‘untuk menderita’ – tou pathein. Iraneous (thn 175) menulis bahwa Musa telah mengetahui dan diberitahu…hari penyerahanNya… dari nama yang diberikan kepada Paskah’.
Dalam sebuah buku Romawi yang berjudul Passover Homily (thn 222) yang mungkin ditulis oleh Bishop Callistus, Paskah orang Kristen diartikan sebagai perayaan pengorbanan domba Paskah sejati :’Disini (Paskah orang Yahudi) seekor domba diambil dari kawanannya, disana (Paskah Kristen) seekor domba yang turun dari Sorga: disini adalah sebuah tanda darah…disana sebuah cawan yang terisi darah dan roh. ‘ Dalam analisa terhadap buku ini, Marcel Richard kaget karena tema kebangkitan lebih sedikit daripada bukunya Melito diatas. Kesan serupa oleh Clement of Alexandria (thn 220) dan Hippolytus (thn 236) memastikan bahwa tidak hanya di Asia tetapi juga di Roma dan Alexandria, Paskah sudah dirayakan selama abad kedua (pada hari Minggu atau bulan Nisan14) terutama sebagai peringatan untuk penderitaan dan pengorbanan Kristus.
Rujukan jelas yang pertama sekali tentang pemeliharaan hari Minggu oleh orang Kristen ditulis oleh Barnabas (thn 135) dan Justin Martyr (thn 150). Kedua duanya menyebutkan kebangkitan sebagai dasar pemeliharaan hari Minggu, tetapi hanya sebagai alasan kedua, penting tetapi bukan yang dominan. Rujukan rujukan ini dan diskusi diskusi lainnya bertentangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa asal usul hari Minggu ‘adalah hanya bisa ditemukan pada fakta Kebangkitan Kristus di hari setelah hari Sabat’.
Gereja di Jerusalem dan Asal Usul hari Minggu
Apakah gereja Jerusalem merintis pemeliharaan hari Minggu menggantikan hari Sabat? Anggapan yang populer ini berdasar pada beberapa asumsi. Asumsi pertama, karena kebangkitan dan beberapa pemunculan Kristus terjadi pada hari Minggu di Jerusalem, kebaktian hari Minggu dimulai dari kota ini oleh perintah kerasulan untuk memperingati kejadian kejadian penting ini dengan hari khusus Kristen dan kebaktian. Asumsi kedua, karena perubahan hari kebaktian hanya dapat dilakukan oleh gereja yang mempunyai kekuasaan besar, gereja Jerusalem – gereja induk kekristenan – logikanya, adalah satu satunya tempat dimulainya kebiasaan ini. Lebih lanjut, tiadanya jejak jejak pertentangan mengenai hari Sabat dan Minggu diantara Paulus dan partai Judas dianggap sebagai indikasi bahwa kebaktian hari pertama mula mula sekali diresmikan oleh wewenang kerasulan di gereja Jerusalem dan akibatnya Paulus menerima hari baru untuk kebaktian ini sebagai kenyataan. Apakah asumsi asumsi ini sah dan didukung oleh catatan catatan sejarah mengenai gereja Jerusalem? Sebuah evaluasi yang objektif terhadap bukti bukti tertulis berikut ini akan memberi jawabnya.
Komposisi etnis dan orientasi teologis. Buku Kisah Para Rasul dan beberapa dokumen Judeo Kristen menunjukkan bahwa komposisi etnis dan orientasi teologis dari Gereja Jerusalem adalah sangat Yahudi. Dalam buku Kisah Para Rasul, Lukas sering melaporkan peristiwa pertobatan massal orang Yahudi: 2:41; 4:4; 5:14; 6:1, 7; 9:42; 12:24; 13:43; 14:1; 17:10; 21:20. Diantara orang orang Yahudi yang bertobat ini terdapat orang orang Yahudi yang tekun beragama (Kis 2:5,41), banyak imam imam (Kis 6:7) dan ribuan orang Yahudi yang taat pada hukum 10 (Kis 21:20).
Jacob Jervell menganalisa referensi ini yang menandai kesuksesan Lukas menginjili orang Yahudi. Ribuan orang Yahudi yang bertobat ini tidak pernah dianggap sebagai Israel baru tetapi sebagai bagian dari Israel lama yang diperbarui sesuai dengan janji Allah dalam perjanjian lama (Kis 15:16-18; 1:6; 3:11-26) Jervell mengatakan “ Karena orang Yahudi Kristen adalah Israel yang diperbarui, maka sunat dan hukum 10 menjadi identitas mereka yang menonjol”. Rekonstruksi Jervell terhadap kisah Lukas, dimana dikatakan bahwa orang Yahudi yang bertobat mewakili Israel yang diperbarui (Kis 15:16-18) melalui mana keselamatan diberikan kepada orang non Yahudi, agaknya terlalu bombastis, dan gagal untuk mempertimbangkan pengaruh dari pengajaran dan pelayanan Kristus. Kehadiran orang Kristen dalam sinagog (kaabah) pada hari Sabat juga didapati di tempat tempat di luar Jerusalem. Lukas melaporkan bahwa Paulus secara teratur bertemu dengan orang Yahudi dan Yunani di sinagog pada hari Sabat (Kis 18:4; 13:5, 14, 42, 44) dan menerangkan bahwa kehadiran itu adalah kebiasaan Paulus (Kis 17:2). Juga Apollo, pada saat tiba di Epesus, bertemu dengan umat percaya di sinagog (Kis 18:24-26).
Peranan Yakobus. Eratnya keterkaitan Gereja Jerusalem pada saat saat awal dengan tradisi keagamaan Yahudi dapat dilihat dari peranan Yakobus sebagai orang yang mempertahankan hukum (Kis 15:1, 24; Gal 2:12). Pilihan Yakobus kepada kepemimpinan Gereja Jerusalem jelas didukung oleh para imam dan orang Farisi yang sudah bertobat (Kis 6:7; 15:5) yang secara alami mendukung Yakobus karena ketaatannya yang legendaris terhadap hukum Musa.
Mengenai ketaatan ini dikonfirmasi oleh beberapa dokumen Judeo Kristen yang juga menekankan ‘faktor turunan’. Karena mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kristus (Gal 1:19) Yakobus dapat mengklaim adanya hubungan darah dengan Kristus sehingga memenuhi peran sebagai ‘imam besar’ Kristen yang sah. Hal ini menjelaskan betapa ‘keimamatan’ Kristen baru dan kepemimpinan di Jerusalaem sangat berorientasi Yahudi. Tingkah laku dasar Yakobus dan kaumnya terhadap kewajiban hukum PL lebih relevan dengan usaha pencarian informasi kita mengenai kemungkinan asal usul pemeliharaan hari Minggu di Jerusalem.
Pada rapat orang Kristen pertama (thn 49 – 50) di Jerusalem, ada banyak perdebatan mengenai apakah orang Kristen non Yahudi boleh bebas dari kewajiban sunat (Kis 15:7). Petrus, Paulus, dan Barnabas (ayat 7 dan 12) memberikan pandangan mereka mengenai masalah ini, tetapi kesimpulan terakhir datang dari Yakobus, yang membebaskan orang Kristen non Yahudi dari kewajiban sunat tetapi menganjurkan supaya mereka ini menjauhkan diri dari polusi berhala-berhala dan darah. Pembebasan yang ditetapkan oleh Yakobus ini tidak mungkin terjadi untuk masalah yang lebih penting seperti pemeliharaan hari Sabat.
Perlu dicatat bahwa otoritas dekrit kerasulan cenderung selaras dengan nabi-nabi dan Musa (Kis 15:15-18, dan ayat 21). Beberapa pemikir berpendapat bahwa dekrit itu mewakili ‘apa yang Imamat 17-18 tuntut dari orang asing yang tinggal ditengah-tengah orang Israel’. Jadi, dekrit kerasulan bukan mewakili penyimpangan hukum untuk orang non Yahudi tetapi justru merupakan penerapan dengan dasar hukum Musa yang diwajibkan bagi orang asing/non Yahudi. Pernyataan Yakobus untuk mendukung usulannya juga penting diperhatikan: “karena sejak dahulu Musa mempunyai orang-orang disetiap kota untuk membaca hukum, setiap hari Sabat di sinagog” (Kis 15:21). Walaupun pernyataan Yakobus telah diterapkan kepada bangsa-bangsa yang berbeda (non Yahudi, Kristen, Yahudi Kristen, dan pihak Kristen Farisi), kebanyakan penafsir mengakui bahwa dalam usulan dan pernyataannya, Yakobus menegaskan kembali keterkaitan alamiah dari hukum Musa yang secara tradisi dikhotbahkan dan dibaca setiap hari Sabat di sinagog-sinagog.
Kunjungan terakhir Paulus ke Jerusalem. (Kis 21, thn 58-60) dan pernyataan Lukas bahwa Paulus ‘ingin segera berada di Jerusalem, jika mungkin, pada hari Pentakosta (Kis 20:16) dan bahwa mereka telah ikut hari ‘perayaan roti tidak beragi’ di Philippi (Kis 20:6) mengesankan bahwa jadwal liturgi Yahudi secara normatif diikuti oleh orang Kristen. Yang terjadi di Jerusalem sendiri sangat menjelaskan hal ini. Yakobus dan para penatua tidak hanya mengatakan kepada Paulus bahwa ribuan orang Yahudi yang bertobat adalah orang yang taat kepada hukum (Kis 21:20) tetapi juga mendesak Paulus untuk membuktikan bahwa dirinya juga memelihara hukum (Kis 21:24), dengan menjalani upacara penyucian di kaabah. Dalam konteks ketaatan yang sungguh kepada pemeliharaan hukum ini, sulit untuk meyakinkan diri kita sendiri bahwa Gereja Jerusalem telah melanggar salah satu keyakinan dasarnya – pemeliharaan hari Sabat – dan sebagai gantinya merintis pemeliharaan hari Minggu. Seperti yang dicatat dengan benar oleh M.M.B. Turner, “kepemimpinan Yakobus, yang keYahudiannya legendaris, dan oleh elemen elemen konservativ (imam imam dan Farisi), telah mempertahankan pemeliharaan hari Sabat di Jerusalem dan gereja gereja sekitarnya.”
Gereja Jerusalem setelah tahun 70.
Situasi sangat berubah setelah penghancuran kaabah oleh Romawi pada tahun 70. Sejarawan Eusebius (kira kira tahun 260 – 340) dan Epiphanius (kira kira tahun 315 – 403) menginformasikan bahwa sejak pengepungan Hadrian (thn 135) Gereja Jerusalem beranggotakan orang Yahudi yang telah bertobat, yang digambarkan sebagai orang yang ‘ingin mempertahankan penurutan kepada hukum’. Kenyataannya, sekte Kristen Yahudi Palestina Orthodox dari kaum Nazaret, yang umumnya diakui sebagai ‘turunan langsung dari komunitas asal’ Jerusalem, menurut Epiphanius, pada abad keempat, masih memelihara praktek praktek PL seperti ‘sunat, hari Sabat, dan lain lain’.
Jelaslah sudah implikasinya. Kebiasaan tradisi pemeliharaan hari Sabat dipertahankan oleh orang Kristen Palestina lama setelah penghancuran Kaabah. Kesimpulan ini sejalan dengan ‘kutuk orang Kristen’ (Birkath-ha-Minim), doa yang diperkenalkan oleh otoritas kerabian Palestina (kira kira thn 80-90) untuk membasmi partisipasi Kristen Yahudi dalam pelayanan sinagog Yahudi. Partisipasi orang Kristen Palestina dalam pelayanan di sinagog tidak cukup beralasan bila dianggap mereka memperkenalkan hari kebaktian baru. Data historis ini melemahkan semua teori yang mengatakan bahwa Jerusalem adalah perintis kebaktian hari Minggu. Dari semua gereja gereja Kristen, Gereja Jerusalem adalah yang paling dipengaruhi oleh tradisi keagamaan Yahudi.
Peraturan Hadrian.
Perubahan yang radikal terjadi dalam dunia Yahudi setelah tahun 135, dimana penguasa Romawi Hadrian menumpas pemberontakan Yahudi kedua yang gagal, yang dipimpin oleh Barkokeba (132-135). Jerusalem menjadi jajahan Romawi, tidak termasuk orang orang Yahudi dan Kristen Yahudi. Pada saat itu Hadrian melarang praktek agama Yahudi di seluruh kerajaan, terutama pemeliharaan hari Sabat. Kebijakan anti Yahudi yang represif ini menyebabkan pembuatan literatur ‘Kristen’ melawan Yahudi, Adversus Judaeos, yang menganjurkan pemisahan dari dan penghinaan terhadap orang Yahudi. Kebiasaan unik Yahudi seperti sunat dan pemeliharaan hari Sabat sangat dilarang. Mempertimbangkan hal seperti ini, wajar jika kita mengindikasikan bahwa pemeliharaan hari Minggu diperkenalkan pada saat ini dalam hubungannya dengan Paskah hari Minggu, sebagai usaha untuk menjelaskan kepada otoritas Roma perbedaan Kristen dan Judaisme. Kepada indikasi seperti inilah kita perlu memusatkan perhatian.
Roma dan Asal Usul Pemeliharaan Hari Minggu
Festival-festival keagamaan baru seperti pemeliharaan hari Minggu lebih mungkin diperkenalkan dan diikuti oleh sebuah gereja yang memutuskan hubungannya dengan Yudaisme pada saat awal. Gereja itu diakui secara luas. Seperti yang sudah kita lihat, hal ini tidak termasuk Gereja Jerusalem sebelum tahun 135, karena setelah waktu ini gereja Jerusalem kehilangan kebanggaan keagamaannya dan nyaris tidak berarti apa apa lagi, sehingga sulit dikatakan gereja Jerusalem ini telah merintis perubahan yang tersebut diatas. Kelihatannya, lebih mungkin gereja itu merujuk kepada gereja yang berada di ibukota Roma, karena kondisi sosial, keagamaan, dan politik yang ada disekitar gereja Roma yang mengizinkan dan mendorong ditinggalkannya hari Sabat dan sebagai gantinya mengikuti kebaktian hari Minggu.
Karakteristik Gereja Roma. Berbeda dengan gereja gereja timur pada umumnya, anggota anggota gereja Roma didominasi oleh orang-orang non Yahudi yang telah bertobat. Dalam suratnya kepada gereja Roma, Paulus dengan jelas mengatakan: “Saya berbicara kepadamu, hai orang orang non Yahudi ,” (Roma 11:13). Sehingga pada jaman itu di Roma, seperti yang dinyatakan oleh Leonard Goppelt, “perbedaan antara gereja dan sinagog ditemukan dimana-mana, sesuatu yang tidak ada pada gereja gereja timur.”
Anggota anggota non Yahudi mayoritas inilah yang mendukung pembedaan dengan orang Yahudi di Roma. Contohnya pada tahun 64 Kaisar Nero dengan jelas membedakan orang Yahudi dengan orang Kristen ketika dia menuduh orang Yahudi bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi pada saat itu. Kenyataan bahwa proses pembedaan Kristen dengan Yahudi terjadi di Roma lebih awal daripada di Palestina menyiratkan kemungkinan bahwa hari kebaktian baru mungkin saja diperkenalkan pertama kali di Roma sebagai bagian dari proses pembedaan dengan Yudaisme. Untuk mengerti sebab sebab yang mungkin dari proses pembedaan ini, perlu untuk mengetahui dengan singkat hubungan antara kerajaan Roma dan orang Yahudi pada saat itu.
Dimulai dengan pemberontakan pertama Yahudi melawan Roma (thn 66 sampai 70), berbagai cara digunakan untuk menekan orang Yahudi: militer, politik, dan pajak. Pemberontakan orang Yahudi meletus diberbagai daerah: Mesopotamia, Cyrenaica, Palestina, Mesir dan Siprus. Selama perang besar Yahudi (thn 70 dan 135) lebih dari sejuta orang Yahudi dibantai dalam perang di Palestina saja.. Secara politik, Vespasian (69-79) membubarkan majelis Sanhedrin dan lembaga imam besar. Berikutnya Hadrian (sekitar thn 135) melarang praktek praktek Yudaisme, terutama pemeliharaan hari Sabat. Secara pajak, orang Yahudi dikenakan pajak yang diskriminatif (fiscus judaicus) yang disahkan oleh Vespasian dan dinaikkan pertama kali oleh Domitian (81-96) dan kemudian oleh Hadrian (117-138).
Indikasi dari berbagai tekanan intensif yang terjadi di Roma adalah ditemukannya tulisan tulisan yang menghina Yahudi oleh penulis penulis seperti Seneca, Persius (34-62) Petronius (sekitar thn 66), Quintillian (35-100), Martial (40-104), Plutarch (46-119), Juvenal (sekitar 125) dan Tacitus (sekitar 55-120). Para penulis ini tinggal di Roma selama umur produktif mereka. Penulis-penulis ini menyiksa orang-orang Yahudi, secara rasial dan budaya, melawan pemeliharaan hari Sabat dan sunat, sebagai contoh dari kebiasaan Yahudi yang mereka katakan ‘tidak jelas gunanya’. Ketidaksenangan orang Roma terhadap orang Yahudi memaksa Titus untuk menyuruh Jewess Berenice, saudara perempuan raja Herodes, untuk meninggalkan Roma. Padahal Titus berencana akan menikahi wanita itu. Masalah Yahudi, seperti yang sudah kita lihat, menjadi lebih parah pada jaman Hadrian karena penindasan yang radikal terhadap agama Yahudi. Keadaan keadaan ini, juga dengan adanya konflik antara Yahudi dan orang Kristen, mendorong timbulnya literatur/ buku buku anti Yahudi yang mengembangkan sebuah ‘teologi’ Kristen yang terpisah dari dan merendahkan Yahudi. Contoh yang jelas dari keadaan ini adalah penggantian festival festival unik Yahudi seperti Passover dan hari Sabat dengan Paskah hari Minggu dan pemeliharaan hari Minggu.
Roma dan hari Sabat. Pusat dari berkembangnya keadaan ini kelihatannya adalah Gereja Roma dimana cara cara teologis, sosial, dan liturgis telah dilakukan untuk mengajak orang orang Kristen meninggalkan kebaktian hari Sabat dan mendorong kebaktian hari Minggu. Secara teologis, hari Sabat telah diturunkan derajatnya dari ketentuan yang berlaku universal kepada ketentuan buatan manusia yang sementara. Secara sosial, hari Sabat telah dirubah dari hari tradisi untuk berpesta dan bergembira (feasting and gladness) kepada hari untuk berpuasa dan gelap (fasting and gloom). Peranan Gereja Roma dalam mempromosikan dan merintis puasa hari Sabat jelas dicatat dalam rujukan sejarah dari Bishop Callistus (217-222), Hippolytus (170-236), Bishop Sylvester (314-335). Paus Innocent I (401-417), Augustine (354-430) dan John Cassian (360-435).
Puasa hari Sabat tidak hanya untuk melambangkan kesedihan untuk kematian Kristus, tetapi, seperti dinyatakan dengan empati oleh Bishop Sylvester, untuk menunjukkan penghinaan kepada orang Yahudi – exsecratione Judaeorum. Kesedihan dan rasa lapar sebagai akibat dari berpuasa akan menyebabkan orang orang Kristen untuk menghindar dari pemeliharaan hari Sabat bersama dengan orang Yahudi, dan mendorong mereka dengan penuh keinginan dan kegembiraan memelihara hari Minggu. Secara liturgis, hari Sabat dibuat sebagai hari non keagamaan karena tidak ada upacara yang boleh dijalankan selama hari Sabat, karena upacara upacara ini dianggap membatalkan puasa.
Kemungkinan besar hari Sabat mingguan berkembang dengan pesat sebagai perluasan atau pasangan dari Sabat suci tahunan pada musim Paskah pada saat orang Kristen berpuasa. Kedua hal ini dirancang bukan hanya untuk mengekspresikan kesedihan karena kematian Kristus tetapi juga penghinaan untuk orang Yahudi. Lagipula, karena puasa mingguan dan tahunan Sabat sebagaimana hari Minggu mingguan dan Paskah hari Minggu sering ditunjukkan oleh para bapa sebagai hal yang saling berhubungan dalam arti dan fungsinya, sangatlah mungkin bahwa praktek praktek ini berasal bersama sama sebagai bagian dari perayaan paskah hari Minggu. Karena itu adalah penting untuk memastikan waktu, tempat, dan penyebab penyebab dari asal usul paskah hari Minggu, karena hal ini dapat menuntun kepada asal usul pemeliharaan hari Minggu.
Roma dan Paskah hari Minggu. Langkanya dokumen yang tersedia dan sifat yang kontroversial dari masalah ini menyulitkan untuk menentukan dengan pasti dimana, kapan, dan oleh siapa paskah hari minggu pertama kali dilakukan. Sejarawan Eusebius (260-340) menyediakan informasi tentang kontroversi yang meledak pada abad kedua diantara gereja Roma, yang meresmikan tanggal paskah hari Minggu, dan orang orang Kristen Asia yang mempertahankan perayaaan Passover pada bulan Nisan 14 (dikenal sebagai tradisi Quartodeciman). Sebagai pendukung kuat dari perayaan paskah hari Minggu yang diresmikan oleh Konsili Nicaea (325) Eusebius tidak segan segan memberi hari ini suatu asal usul kerasulan. Kenyataannya, dalam laporannya, Eusebius dengan jelas memastikan bahwa paskah hari Minggu “berasal dari tradisi kerasulan dari dahulu hingga kini”. Juga dalam kesimpulannya, Eusebius menyebutkan bahwa synode Palestina (yang diadakan sekitar tahun 198 atas permintaan Bishop Victor dari Roma) memandang paskah hari Minggu sebagai ‘telah turun dari para rasul’.
Dengan informasi informasi seperti diatas, Eusebius telah sungguh berhasil mengacaukan beberapa ahli yang tidak sengaja menerima asal usul kerasulan paskah hari Minggu. Tetapi kalau kita membaca karya Eusebius dengan hati-hati, pasti kita dapat melihat bias dari pernyataan-pernyataannya yang tidak tepat. Seperti yang dicatat oleh Marcel Richard, “sejak awal bukunya , kita mengamati bahwa Eusebius mengartikan Paskah Quartodeciman sebagai ‘tradisi lama’ sementara dia mengatakan paskah hari Minggu berasal dari ‘tradisi kerasulan’ dan disebut dengan jelas sebagai ‘hari kebangkitan Tuhan’, kentara sekali pembelaan Eusebius”. Referensi referensi yang tersedia paling awal mengenai paskah hari Minggu dan tradisi Quartodeciman menyebutkan dasar Passover sebagai perayaan kesedihan Kristus, dan bukan KebangkitanNya. Tertullian (160-225) sebagai contoh, merujuk kepada “passover Tuhan, yaitu kesedihan Kristus”. Fakta ini juga didukung oleh usaha Origen untuk menyangkal interpretasi Passover sebagai ‘kesedihan’ dengan menunjuk arti etimologis dari kata bahasa Ibrani pesah, yang berarti ‘untuk melewati / pass over’.
Kesalahan Eusebius lebih nampak pada saat dia menjelaskan asal usul Passover Quartodeciman. Dalam memperkenalkan dua surat penting dari Polycarp dan Irenaeus, Eusebius selalu menyebutkan tradisi Quartodeciman sebagai ‘kebiasaan lama’ dan ‘kebiasaan kuno’ bukan sebagai ‘tradisi kerasulan’. Eusebius menyediakan tradisi kerasulan ini khusus untuk Paskah Hari Minggu. Padahal, dokumen yang dikutip dua kali oleh Eusebius dengan jelas menyebutkan asal usul tradisi kerasulan untuk Passover Quartodeciman, dan tidak menyebutkan apa apa tentang adanya asal usul kerasulan untuk Paskah hari Minggu.
Dalam kepentingan Eusebius untuk mempertahankan asal usul kerasulan bagi Paskah hari Minggu, Eusebius sebetulnya mempunyai kesempatan untuk menjelaskan bukti bukti tertulis, bila memang ada (tetapi kelihatannya tidak ada dokumen yang dapat dijadikan dasar). Sebagian dari surat Iraneous yang dikutip oleh Eusebius malah lebih menyiratkan bahwa Paskah hari Minggu ada sejak awal abad kedua. Hal ini kelihatan dari himbauan Irenaeus kepada bishop Victor dari Roma (sekitar thn 189-199) untuk mencontoh pendahulunya, yaitu Anicetus dan Pius dan Hyginus dan Telephorus dan Sixtus, yang merayakan Paskah pada hari Minggu, tetapi tidak pernah ribut dengan orang yang merayakan Paskah pada bulan Nisan 14.
Sinyalemen Irenaeus tentang bishop Sixtus (116-126) yang pertama kali tidak memelihara Paskah Quartodeciman menyediakan satu kemungkinan bahwa Paskah hari Minggu mulai dipelihara di Roma pada hari Minggu sejak jaman itu.
Kesimpulan ini telah diambil oleh beberapa cendekiawan. Henri Leclerg, contohnya, dengan dasar pesan Irenaeus, menempatkan asal usul Paskah hari Minggu pada awal abad kedua, dibawah masa bishop Sixtus I di Roma, sekitar tahun 120. Karl Baus menulis hal yang sama: “Tidaklah mungkin lagi untuk menentukan kapan dan oleh siapa Paskah hari Minggu ini diperkenalkan di Roma, tetapi pasti hal ini ditetapkan di Roma pada awal abad kedua, karena Irenaeus dengan jelas berasumsi bahwa hari ini telah ada pada jaman Bishop Roma Xystus”. J.
Jeremiah juga mengungkapkan “Irenaeus melacak kembali Paskah hari Minggu Roma ini kepada Xystus, walaupun Irenaeus tidak menyebutkan waktu yang tepat. Hipotesa yang menyatakan asal usul Roma untuk Paskah hari Minggu pada jaman Xystus secara tidak langsung didukung oleh pernyataan Epiphanius bahwa kontroversi mengenai Paskah timbul setelah eksodus bishop yang pro kepada ajaran sunat dari Jerusalem. Eksodus ini diperintahkan oleh Kaisar Hadrian pada tahun 135 setelah menumpas pemberontakan Yahudi yang kedua. Kaisar ini, seperti telah dicatat di depan, menganut kebijakan garis keras terhadap kebiasaan dan upacara upacara Yahudi. Untuk mencegah tekanan dari pemerintah bishop Sixtus boleh jadi telah mengganti festival festival khas Yahudi seperti hari Sabat mingguan dan Paskah tahunan, dengan hari Minggu dan Paskah hari Minggu.
Penerapan Paskah hari Minggu beberapa tahun kemudian di Jerusalem oleh bishop bishop Yunani yang baru yang menggantikan pemimpin kristen Yahudi pasti ditolak oleh orang orang yang tidak siap menerima perubahan itu. Sementara asal usul yang pasti dari Paskah hari Minggu masih saja menjadi perdebatan, kelihatannya ada konsensus yang luas dari pendapat para cendekiawan untuk menganggap Roma sebagai ‘tempat kelahiran’ hari ini. Beberapa cendekiawan, kenyataannya, menamai Paskah hari Minggu itu sebagai Paskah Roma. Hal ini menyiratkan bahwa bukan hanya gereja Roma yang menekankan kebiasaan baru ini tetapi juga sumber sumber sejarah yang ada di kemudian hari. Dua dokumen yang saling berhubungan, yaitu surat konsili dari Kounsel Nicaea (325) dan surat pribadi Constantine kepada semua bishop, gereja Roma disebutkan sebagai contoh pertama untuk Paskah hari Minggu, hal ini pasti karena posisi historis dan peranan gereja ini dalam mendukung pemeliharaan Paskah hari Minggu.
Penyebarluasan Paskah Hari Minggu
Apa yang menyebabkan banyak orang Kristen beralih dari Paskah Quartodeciman kepada Paskah hari Minggu? Apakah karena ada sebab khusus, seperti pada kasus ditinggalkannya pemeliharaan hari Sabat untuk memisahkan diri dari orang Yahudi dan kebiasaan kebiasaan keagamaannya? Banyak cendekiawan mengakui anti Yudaisme sebagai faktor yang penting. J. Jeremias, sebagai contoh, melihat “kecenderungan untuk memisahkan diri dari Yudaisme” sebagai alasan utama yang menyebabkan Roma dan gereja gereja lain mengganti tanggal Paskah dari tanggal Paskah Yahudi (quartodeciman) ke hari Minggu berikutnya. Juga J.B. Lightfoot yang berpendapat bahwa Roma dan Alexandria bahkan memelihara Paskah hari Minggu supaya tidak kelihatan seperti orang Yahudi.
Kenneth A. Strand menolak penjelasan ini dengan berpendapat bahwa “sentimen anti Yahudi sudah jelas untuk periode awal abad kedua yang menunjuk kepada hari Sabat mingguan dan hari Minggu, tetapi dalam hal Paskah Quartodeciman dan Paskah hari Minggu…sesungguhnya, dinyatakan dalam surat Irenaeus bahwa bishop bishop Roma, dari Sixtus sampai kepada Anicetus mempunyai hubungan yang dekat dengan Quartodeciman”
Argumen Strand ini gagal melihat fakta yang penting. Pertama, hubungan yang dekat diantara Quartodeciman dengan pemelihara Paskah hari Minggu tidak meniadakan keberadaan sentimen anti Yahudi. Justin Martyr, sebagai contoh, berbicara tentang orang Kristen pemelihara hari Sabat yang tidak memaksa orang lain untuk memelihara hari Sabat, dengan jelas menyatakan “Saya pikir kita harus bergabung dengan mereka (para pemelihara Sabat itu) dan bersama sama seperti orang yang bersaudara” Tetapi kita mencatat pada awalnya bahwa Justin melihat hari Sabat sebagai merek dagang dari imoralitas Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa “hubungan yang baik” dan “perasaan anti Yahudi” tidak selalu berdiri sendiri. Kedua, pernyataan Strand bahwa “perasaan anti Yahudi” ada dalam kontroversi Sabbath/Minggu tetapi tidak ada dalam kontroversi Paskah Quartodeciman dan Paskah hari Minggu, tidaklah akurat. Ayat pertama dari lagu “Paschal Homily” yang ditulis oleh Melito dari Sardis sekitar tahun 170, mengartikan Passover dalam terang “pembunuhan besar” Kristus oleh orang Yahudi:
Kamu membunuh orang ini pada saat pesta besar Allah telah dibunuh Raja orang Israel telah dihancurkan, oleh tangan kanan Israel Pembunuhan yang sangat menakutkan, sangat tidak adil!
A.T. Kraabel dengan tepat menyatakan keterkejutannya dan mengatakan bahwa kalau saja para pengajar ini telah membaca dokumen Quartodeciman ini, maka mereka tidak akan mengaitkan hal ini dengan serangan yang panjang dan pahit terhadap Israel. Perasaan anti Yahudi yang sama terdapat dalam Pengajaran dua belas rasul yang populer (awal paruh pertama abad ke tiga) dimana orang Kristen diajak untuk berpuasa pada hari Jumat Paskah dan hari Sabat, untuk “ ketidakpatuhan saudara saudara kita (orang Yahudi)” karena saudara saudara ini telah membunuh diri mereka sendiri dengan menyalibkan Juruselamat kita.
Dokumen ini dan dokumen dokumen lain dengan jelas menunjukkan bahwa sentimen anti Yahudi ada dalam pemeliharaan Quartodeciman dan juga Paskah hari Minggu. Kenyataannya, tidak ada perbedaan teologis yang penting yang dapat dideteksi diantara dua tradisi ini. Dalam kedua tradisi ini, perayaannya terdiri dari pesta yang diikuti dengan perayaan menghormati pengorbanan Kristus. Letak kontroversinya bukan pada arti teologis dari Paskah tetapi pada panjangnya pesta dan tanggal penghormatan.
Dalam dua tradisi ini sentimen anti Yahudi ada dan kenyataan ini membantu menjelaskan adanya hubungan yang baik diantara praktek yang berbeda. Jelaslah bahwa orang Kristen yang memelihara Paskah pada hari Minggu yang terjadi setelah Paskah Yahudi dapat membedakan dirinya lebih jelas dengan orang Yahudi dari pada orang Kristen yang memelihara Quartodeciman pada tanggal yang sama dengan Yahudi. Faktor ini, yang sekarang dapat kita lihat, menyumbang banyak pada tersebar luasnya praktek Paskah hari Minggu. Perkembangan yang dapat diperkirakan yang terjadi pada paruh kedua abad yang kedua mengakhiri hubungan yang baik diantara dua tradisi ini.
Orang yang memelihara Quartodeciman dengan mempertahankan tanggal Yahudi dengan mudah akan menerima cara Yahudi dalam memelihara Paskah. Hal inilah yang terjadi pada tahun seratus enam puluhan, ketika beberapa pemelihara Quartodeciman, seperti dilaporkan oleh Apollinaris, bishop dari Hierapolis (sekitar thn 170) “tidak peduli menciptakan perlawanan…” mengklaim bahwa Tuhan memakan domba paskah bersama murid2Nya pada tanggal Nisan 14 dan Dia menderita pada hari raya roti tidak beragi (nisan 15)”. Para pemelihara Quartodeciman yang radikal ini menyatakan bahwa orang Kristen harus merayakan Paskah perjanjian lama pada saat yang sama dan dengan cara yang sama dengan orang Yahudi, makan domba paskah dalam pesta yang khidmat pada tanggal Nisan 14. Pemelihara Quartodeciman lainnya, malahan, menyatakan bahwa orang Kristen harus merayakan kematian Kristus bukannya pesta paskah Yahudi.
Pertentangan yang terjadi meluas diluar benua Asia dan bertambah lama. Pada awal abad ketiga, tulisan tulisan Clement di Alexandria dan Hippolytus di Roma menentang penganut Quartodeciman yang radikal ini yang didukung oleh komunitas mereka. Di Roma, masalahnya semakin menjadi-jadi ketika Blastus, seorang pemimpin gereja, pada tahun 180 menjadi pemimpin dari sebuah gereja yang mandiri. Tertullian melaporkan bahwa Blastus ingin menerapkan Yudaisme secara sembunyi, dengan mengatakan bahwa hari Paskah hanya boleh dirayakan pada tanggal 14 sesuai dengan hukum Musa.
Seorang bishop Roma bernama Victor ( 189-198) menyadari bahwa satu satunya cara menumpas kaum Yahudi Quartodeciman di Roma ini adalah dengan menyerang langsung semua tradisi Quartodeciman, yang berakar kuat diantara gereja gereja di Asia. Victor melaksanakan caranya dengan memerintahkan bishop bishop di Asia, juga di sejumlah propinsi propinsi lain untuk menyeragamkan pelaksanaan Paskah hari Minggu di daerah bishop masing masing, yang disebut sebagai sinode. Perintah Victor ini dipatuhi dan sejumlah sinode dilaksanakan yang hampir semuanya mendukung Paskah Romawi.
Selain perintah Victor ini, paling sedikit ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya penerimaan yang luas terhadap Paskah Romawi pada saat ini.
Pertama, ada kelompok Quartodeciman radikal yang memaksa untuk memperingati Paskah, bukan hanya pada tanggal Yahudi tetapi juga sesuai dengan cara cara Yahudi, seperti memakan domba Paskah. Kelompok ini kelihatannya menyebabkan pertentangan yang besar di gereja gereja di Asia, Alexandria, dan di Roma sendiri. Perubahan perayaan Paskah dari tanggal Nisan 14 (yang merupakan tanggal Yahudi) ke hari Minggu berikutnya dipandang oleh banyak bishop sebagai cara efektif untuk menahan kecenderungan kebiasaan Yahudi dalam gereja gereja mereka.
Kedua, nilai teologis yang sedang trend pada saat itu mengenai kebangkitan Yesus, sangat mungkin didorong oleh praktek Paskah hari Minggu, karena praktek ini memungkinkan seseorang untuk merayakan kematian Yesus dan kebangkitanNya sekaligus pada hari dimana kedua peristiwa itu terjadi.
Ketiga, perpecahan yang meluas diantara gereja dan sinagog – yang terbukti dari banyaknya buku buku yang bertema melawan Yahudi yang dibuat pada saat itu – mendorong banyak orang Kristen untuk memisahkan diri mereka dari orang Yahudi dan festival festival tradisional Yahudi seperti hari Sabat dan Paskah.
Mengenai hari Sabat, kami telah kemukakan pada bagian terdahulu adanya taktik taktik yang dilaksanakan oleh gereja Roma untuk menjauhkan orang Kristen dari pemeliharaan hari Sabat dan menggantikannya dengan pemeliharaan hari Minggu. Mengenai Paskah, gereja Roma menerapkan perhitungan kalender independen yang didesain untuk meyakinkan bahwa hari bulan penuh selalu jatuh setelah equinox musim semi (sebuah peristiwa yang tidak dianggap oleh orang Yahudi) dan menjamin bahwa Paskah hari Minggu tidak akan pernah dirayakan pada saat yang sama dengan Paskah Yahudi.
Motif anti Yahudi dari perhitungan yang baru itu jelas kelihatan dalam disertasi Perhitungan Paskah, yang diarahkan kepada Cyprian dan dibuat pada tahun 243, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat pada tablet Easter Roma yang dibuat oleh Hippolytus (+/- 222). Pada bagian pendahuluannya, penulisnya menyatakan “Kami ingin menunjukkan kepada mereka yang mengasihi dan menginginkan studi mengenai kekekalan bahwa orang Kristen tidak perlu menjauh dari jalan kebenaran atau berjalan dalam kebutaan dan kebodohan yang orang Yahudi pikir mereka tahu pada hari apakah Paskah itu”.
Motif anti Yahudi yang sama dalam penolakan Paskah Quartodeciman jelas nampak hampir seabad kemudian dalam surat Nicene yang dibuat oleh Constantine, yang menghimbau orang Kristen untuk secara penuh mengadopsi praktek Paskah hari Minggu yang diterapkan oleh gereja Roma, supaya “tidak mempunyai kesamaan dengan kumpulan Yahudi yang dibenci… semua orang harus bersatu … menghindar dari berpartisipasi dalam kelakuan orang Yahudi”. Penjelasan yang singkat ini diharapkan dapat cukup menunjukkan bahwa sentimen anti Yahudi sesungguhnya ada dalam interpretasi teologis mengenai Quartodeciman dan Paskah hari Minggu, dan bahwa sentimen ini besar peranannya pada penerapan Paskah hari Minggu secara luas. Kedekatan Paskah hari Minggu dan pemeliharaan hari Minggu menyiratkan adanya motif anti Yahudi yang sama yang berperan pada kepopuleran pemeliharaan hari Minggu sebagai ganti pemeliharaan hari Sabat. Kami telah menemukan pendukung untuk kesimpulan ini dalam kesamaan motif dan cara yang dilakukan oleh gereja Roma untuk mendukung pemeliharaan hari Minggu dan Paskah hari Minggu, sebagai ganti dari apa yang dipandang sebagai hari Sabat dan Paskahnya “Yahudi”.
Dominasi Gereja Roma. Apakah gereja Roma, pada abad kedua, menikmati kekuasaan yang cukup untuk memperkenalkan dan mendukung pemeliharaan hari hari raya baru seperti hari Minggu dan Paskah hari Minggu, diantara gereja gereja Kristen? Dokumen dokumen yang tersedia dengan mantap menunjukkan adanya kekuasaan yang besar dan pengaruh yang besar dari gereja Roma pada saat itu. Beberapa contoh akan dikutip sebagai illustrasi. Ignatius, menulis dalam pendahuluan untuk Surat kepada orang Roma, memberi selamat kepada gereja Roma dengan kata kata penghormatan yang jauh lebih tinggi dari kata katanya pada surat ke gereja gereja lain. Gereja Roma, seperti ditulis oleh Ignatius, “bertahta pada tempat terhormat dalam daerah kekuasaan Roma; sebuah gereja milik Allah, yang memiliki kehormatan, memiliki penyucian, dan bertahta dalam kasih, memiliki kasih Yesus, dan membawa nama Bapa”. Ungkapan “bertahta dalam kasih” telah menjadi bahan diskusi para terpelajar. Istilah “kasih” - agape – berulang ulang digunakan oleh Ignatius sebagai personifikasi kumpulan orang Kristen dimana kasih seperti itu diwujudkan.
Untuk orang Trallians, contohnya, Ignatius menulis “Kasih orang Smirna dan Epesus mengirim kepadamu ucapan selamat” . Hal ini adalah tanda bahwa Ignatius melekatkan gereja Roma pada Tahta Kasih (bukan hukum), yaitu, perhatian yang utama untuk kesejahteraan gereja gereja lain. Sayang sekali bahwa yang pada mulanya adalah bertahta dalam kasih lambat laun menjadi dominasi hukum, yang berdasarkan pada tuntutan juridis. Bahwa Ignatius mengetahui kebertahtaan Roma pada kasih ditandai oleh himbauannya kepada gereja yang sama untuk gereja gereja yang tersebar di tempat lain: “Ingatlah dalam doa doamu gereja Syria, yang telah memiliki seorang Pendeta menggantikan saya. Yesus Kristus sendiri yang akan mengawasi gereja ini, bersama sama dengan kasih mu” (9:1).
Apakah wajar bila Ignatius mempercayakan pengawasan dan pendampingan gereja Antiokia kepada gereja Roma yang berada jauh secara fisik dan mungkin anggota anggotanya tidak saling mengenal? Mungkin lebih baik Ignatius mempercayakan tugas pendampingan ini kepada salah satu gereja di Asia, yang lebih dekat lokasinya dengan Antiokia. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Ignatius melekatkan gereja Roma sebagai memiliki fungsi penting untuk kepemimpinan pastoral. Irenaeus, bishop dari Lyons, dalam bukunya Melawan Penyimpangan (ditulis sekitar thn 175 – 189) menghimbau orang orang yang menyimpang untuk memperhatikan tradisi kerasulan yang dijaga khusus oleh gereja Roma. Dia menyebut gereja Roma sebagai ‘gereja yang terbesar, tertua, dan dikenal secara luas sebagai gereja yang didirikan dan diorganisir oleh dua rasul yang paling terkenal, yaitu Petrus dan Paulus…sehingga semua gereja harus sejalan dengan gereja ini, karena kuasanya yang hebat, dan terpercaya dimana saja, seperti halnya dengan tradisi kerasulan yang dijaga terus menerus oleh orang orang di seluruh dunia”. Tulisan Irenaeus ini banyak mengandung kesalahan fatal. Jelas bahwa gereja Roma bukanlah gereja tertua karena didirikan setelah gereja di Jerusalem. Juga, bukanlah Paulus yang mendirikan gereja Roma. Dalam suratnya kepada orang Roma, Paulus jelas menyebutkan bahwa dia bukanlah pendiri gereja ini (Roma 15:20-24). Oleh karena itu, pengakuan ini membuktikan adanya sebuah metode untuk mensahkan pendapat yang dipaksakan bahwa gereja Roma adalah gereja yang tertua.
Satu contoh lain tentang otoritas gereja Roma adalah peraturan yang dibuat oleh bishop Victor untuk memaksakan pemeliharaan Paskah hari Minggu. Bishop ini, seperti sudah dicatat terdahulu, meminta kerja sama dari semua konsili di banyak propinsi untuk melaksanakan pemeliharaan Paskah hari Minggu (sekitar tahun 196). Patut dicatat bahwa bahkan bishop bishop yang membenci Roma patuh kepada permintaan Victor ini. Misalnya, Polycrates, bishop Epesus, yang berbicara atas nama himpunan bishop dalam masalah permintaan Victor.
Apakah kepatuhan ini hanya karena sekedar menyenangkan Victor, seperti diargumentasikan oleh Kenneth Strand? Nada bicara Polycrates yang menolak, lebih menyiratkan adanya tekanan yang dibuat oleh Victor kepada para bishop untuk melaksanakan kebiasaan Roma. Hal ini juga didukung oleh tindakan Victor yang drastis ketika dia diberitahukan tentang penolakan bishop bishop di Asia terhadap Paskah hari Minggu: Dia (Victor) menulis surat dan mengumumkan bahwa semua bishop bishop tersebut akan dikucilkan. Jean Colson dengan tepat menulis: “perhatikanlah kekuatan universal dari pengucilan yang dilancarkan oleh bishop Roma ini. Pengucilan ini juga berarti pengucilan dari seluruh gereja di dunia”.
Pentingnya kebijakan Victor ini dengan gamblang dianalisa oleh George La Piana dalam essaynya yang begitu menerobos yang diterbitkan pada Harvard Theological Review. La Piana menerangkan bahwa “Ketika Victor ingin melarang sebuah tradisi yang merujuk kepada kebiasaan kerasulan, yang menjadi penghalang untuk persatuan komunitasnya dan kejayaan kepausan, Victor memasukkan sebuah doktrin yang mengatakan bahwa tradisi tidak perlu menjadi penghalang kemajuan sebuah institusi yang hidup…ini adalah sebuah awal dari proses sejarah yang memimpin gereja Roma untuk mengidentifikasi tradisi Kristen dengan doktrin dan organisasi dirinya sendiri.”
Pentingnya peraturan disiplin yang dibuat oleh gereja Roma untuk memaksakan praktek prakteknya terhadap orang Kristen di seluruh dunia diperhatikan oleh hanya sedikit pihak. Seperti yang diterangkan oleh La Piana, peraturan peraturan ini menyumbang pada pertambahan dan terkonsolidasinya kekuatan gereja Roma lebih dari “debat teologis dan spekulasi filosofis”. Selanjutnya La Piana menyimpulkan bahwa “adalah dibawah pengendalian Victor sehingga proses ekspansi pengaruh Roma mulai mengambil bentuknya yang jelas dan juga mulai bangkitnya sebuah tradisi yang akan memainkan peranan penting dalam sejarah Kekristenan”. Bukti bukti sejarah yang diambil secara sampling diatas adalah indikasi bahwa pada abad kedua gereja Roma telah menikmati kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi sebagian besar Kekristenan untuk menerima kebiasaan kebiasaan baru seperti Paskah hari Minggu dan hari Minggu mingguan. Alasan dibalik penerimaan hari hari perayaan baru ini adalah, di satu pihak, kebijakan anti Yahudi yang dijalankan secara politis, sosial, budaya, dan militer yang mempercepat kalangan Kristen untuk memutuskan hubungan dengan Yahudi, dan di lain pihak, konflik yang sudah ada diantara orang Yahudi dan orang Kristen.
Gereja Roma, yang para anggotanya sudah lebih dahulu memutuskan hubungan dengan orang Yahudi dibanding anggota gereja di bagian timur, dan yang gerejanya memiliki kekuasaan yang diketahui luas, memainkan peran yang penting dalam memperkenalkan pemeliharaan hari Minggu dan Paskah hari Minggu. Hari hari raya ini kelihatannya pertama kali diperkenalkan pada awal abad ke dua, pada saat peraturan anti Yahudi yang keras dari Hadrian (sekitar thn 135) menyebabkan orang orang Kristen membedakan diri mereka dari orang Yahudi dengan meninggalkan perayaan perayaan khas Yahudi seperti Paskah dan hari Sabat. Untuk menjauhkan orang Kristen dari pemeliharaan hari Sabat kami menemukan bahwa gereja Roma menggunakan cara cara teologis dan praktis. Hari Sabat diartikan kembali sebagai institusi mosaic (kuno) yang diwajibkan bagi orang Yahudi sebagai tandai kemurtadan mereka, dan orang Kristen dianjurkan berpuasa dan menghindar dari perkumpulan keagamaan pada hari Sabat untuk menunjukkan jarak mereka dengan orang Yahudi.
Kebaktian Menyembah Matahari dan Asal usul Pemeliharaan hari Minggu.
Kondisi kondisi sosial, politik, dan keagamaan yang telah dibahas diatas menerangkan mengapa sebuah hari kebaktian baru telah menggantikan hari Sabat, tetapi pembahasan itu tidak menerangkan mengapa hari Minggu telah dipilih, bukannya hari lain, misalnya hari Jumat, dimana Yesus disalibkan. Pembauran antara pemujaan hari Minggu dan perubahan yang terjadi pada Hari Matahari, dari hari yang menempati posisi ke dua meningkat ke posisi pertama akan menyediakan jawaban yang memuaskan.
Penyebaran Pemujaan Matahari.
Penyelidikan penyelidikan yang baru baru ini dilakukan telah menemukan bahwa “dari awal abad ke dua penyembahan matahari telah dominan di Roma dan bagian bagian lain dari kekaisaran Roma”. Sampai pada akhir abad ke satu, orang orang Roma menyembah matahari – Sol Indiges – nama yang tertera pada beberapa karangan Roma kuno. Tetapi pada abad kedua para penyembah matahari dari timur “Sol invictus – matahari yang tak kelihatan” masuk ke Roma dalam dua mode : pertama, secara individu melalui Sol Invictus Mithra dan secara umum melalui Sol Invictus Elagabal.
Tertullian melaporkan bahwa pada jamannya (150-230) Circus Maximus di Roma difocuskan pada Matahari, yang kuilnya berada di tengah tengah kota, dan yang simbolnya ditempatkan pada puncak kuil, karena orang orang itu berpikir bahwa penyembahan harus dilakukan bukan dibawah atap, tetapi diluar, untuk lebih mencocokkan dengan matahari. Kaisar Hadrian (117 –138 ) mengidentifikasi dirinya dengan matahari dalam mata uang logamnya dan mendedikasikan Colossus Neronus hanya untuk matahari. Colossus Neronus ini dibangun oleh Kaisar Nero yang menggambarkan dirinya sebagai tuhan matahari dengan tujuh gelombang cahaya disekitar kepalanya. Belakangan Hadrian menghapus citra Nero dari bangunan yang besar itu.
Berbagai faktor mendorong penyebaran pemujaan matahari. Salah satunya yang terpenting adalah identifikasi dan penyembahan kaisar sebagai tuhan matahari, yang didukung oleh teologi timur mengenai raja matahari, dan oleh pertimbangan politik. Tentara tentara Roma yang mempunyai kontak dengan Sol Invictus Elagabal dan Mithraism dari Timur, juga berfungsi sebagai penganjur pemujaan matahari di dunia bagian barat. Faktor penting lainnya adalah suasana sindikat pada masa itu.
Marcel Simon dalam suatu studi perseptivnya menunjukkan bagaimana dewa utama dihubungkan dengan ketuhanan matahari. Contoh yang sangat tepat mengenai proses asimilasi adalah dua karangan yang diukir pada sebuah tiang dari mithraeum untuk thermae di Caracalla (211-217). Karangan yang pertama menerangkan bahwa “Dewa dewa utama seperti Zeus, Serapis, Helios (dewa allah), master yang tidak kelihatan dari alam semesta). Setelah kematian Caracalla, yang merupakan pendukung dewa dewa Mesir, nama Serapis dicabut dan digantikan oleh nama Mithra. Karangan kedua berisi pemujaan kepada Zeus, Helios, Serapis yang Besar, Penyelamat, yang memberikan kekayaan, yang dengan sabar mendengar, Mithra yang tidak kelihatan”. Patut dicatat bahwa Mithra tidak hanya dihubungkan dengan Serapis, Helius, dan Zeus, tetapi juga disebut sebut terakhir kali sebagai penyatuan dari dewa dewa ini. Marcel Simon menerangkan bahwa dewa matahari (Helios) adalah “unsur sentral dan penting yang menghubungkan dewa dewa yang berbeda beda”.
Penyebaran dan kepopuleran pemujaan matahari ini menyebabkan perubahan yang besar dalam urutan hari hari dalam pekan. Pekan tujuh hari pertama kali diperkenalkan oleh kerajaan Roma pada abad pertama. Pada saat itu nama nama hari diambil dari nama planet. Hari Saturnus (Saturday) mula mula adalah hari pertama dalam pekan dan Hari Matahari (Minggu) mula mula adalah hari kedua. Dibawah pengaruh pemujaan matahari, perubahan terjadi pada abad kedua. Hari matahari berubah menjadi hari pertama, dan setiap hari lain juga maju selangkah sehingga Saturday mundur kebelakang menjadi hari ketujuh. Sulit untuk menentukan waktu yang tepat kapan hari Saturn (Saturday) bertukar tempat dengan hari matahari (Sunday). Ahli astrologi terkenal Vettius Valens menyebutkan bahwa perubahan ini terjadi, atau paling sedikit sedang terjadi, pada pertengahan abad kedua.
Dalam tulisannya berjudul Antologi yang ditulis sekitar tahun 154 dan 174, Vettius dengan eksplisit menyatakan “Dan inilah urutan bintang bintang planet dalam hubungannya dengan hari hari dalam pekan: Matahari, Bulan, Mars, Mercury, Jupiter, Venus, dan Saturn” Urutan yang sama terdapat pada sebuah tablet yang ditemukan tahun 1633 di Wettingen dekat Baden, bersama dengan uang logam (coin) yang bertanggal pada saat Hadrian berkuasa sampai Constantine II (mati tahun 340). Informasi tambahan sehubungan dengan tempat tempat yang didominasi pemujaan matahari yang menyebutkan urutan urutan hari disediakan oleh pernyataan dari Justin Martyr dan Tertullian, dan beberapa Mithraea, seperti dua undang undang yang dibuat oleh Constantine (3 Maret dan 3 July, 321).
Karena adanya hari matahari yang menyaingi hari Saturnus (Saturday) yang terjadi pada awal abad kedua itu adalah sejalan dengan penerapan pemeliharaan hari Minggu oleh orang orang Kristen menggantikan hari Sabat, sebuah pertanyaan timbul: Apakah peningkatan posisi hari matahari menjadi hari pertama dalam pekan mungkin mempengaruhi orang Kristen yang ingin membedakan diri mereka dari hari Sabatnya orang Yahudi, dengan memelihara hari yang sama ini untuk kebaktian mingguan? Ada beberapa indikasi yang menyokong dugaan ini. Secara tidak langsung, dukungan ada dari pimpinan agama terhadap pemujaan orang Kristen terhadap matahari, dengan mengadopsi lambang matahari dari literatur Kristen untuk melambangkan Kristus. Juga dengan adanya perubahan orientasi doa dari Jerusalem ke Timur, dan dengan penetapan hari Natal yang berasal dari pesta kafir. Indikasi yang lebih jelas ialah seringnya lambang matahari digunakan untuk mensahkan pemeliharaan hari Minggu.
Justin Martyr (sekitar thn 100-165) menekankan supaya orang Kristen berkumpul “pada hari Matahari…karena inilah hari pertama ketika Allah, merubah kegelapan dan ketiadaan, menciptakan dunia”. Hubungan yang dibuat Justin diantara hari Matahari dan penciptaan terang pada hari pertama bukanlah kebetulan, karena beberapa pemimpin agama yang kemudian menyatakan hubungan yang sama. Eusebius (sekitar thn 260-340), contohnya, beberapa kali merujuk terang terangan kepada motif dari terang dan hari Matahari untuk mensahkan kebaktian hari Minggu.
Pada komentar Eusebius atas kitab Mazmur, dia menulis: “Pada hari yang terang ini, hari pertama dan hari sesungguhnya dari matahari, bilamana kita berkumpul setelah enam hari bekerja, kita merayakan hari Sabat yang suci …kenyataannya, pada hari pertama penciptaan dunia inilah Allah mengatakan: “Jadilah terang and terangpun jadilah. Pada hari ini jugalah Matahari Keadilan telah naik untuk jiwa kita”. Hal ini dan tulisan tulisan yang sejenis menunjukkan bahwa pilihan hari Minggu dimotivasi oleh waktu yang tepat dan lambang yang efektif yang hari Minggu telah sediakan untuk memperingati dua kejadian penting dalam sejarah keselamatan: penciptaan dan kebangkitan. Jerome (sekitar thn 342-420) menyebutkan dua alasan ini dengan jelas : Hari yang disebut sebagai hari Matahari oleh orang kafir, kita akan mengakuinya, karena pada hari ini terang dunia telah muncul dan pada hari ini juga Matahari Keadilan telah terbit”.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari investigasi kami adalah bahwa penetapan pemeliharaan hari Minggu menggantikan hari Sabat telah terjadi, bukan di Gereja Jerusalem oleh otoritas kerasulan untuk memperingati kebangkitan Yesus, tetapi telah terjadi di gereja Roma selama awal abad ke dua, didukung oleh hal hal eksternal. Intrik politik, sosial, agama kafir, dan faktor Kristen – sama dengan masalah tanggal 25 Desember sebagai hari lahirnya Kristus – mendorong dipeliharanya hari Minggu sebagai hari kebaktian yang baru.
Adanya fakta bahwa pemeliharaan hari Minggu berdasar pada kriteria yang meragukan dan bukan merupakan perintah Alkitab menyebabkan kesulitan yang besar dialami oleh para pemimpin agama untuk menjelaskan alasan teologis yang kuat yang tidak dapat dibantah demi menganjurkan pemeliharaan hari Suci Allah dengan baik. Kalau begitu, apa yang dapat dilakukan untuk mendidik dan memotivasi orang Kristen untuk memelihara hari Suci Allah bukan hanya datang di gereja pada jam kebaktian tetapi sebagai hari yang utuh untuk beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani? Proposal dari studi kami adalah untuk memimpin manusia menemukan kembali dan mengalami arti, fungsi, dan berkat berkat dari hari Sabat Alkitabiah: hari yang diciptakan bukan untuk jam kebaktian saja untuk menunjukkan perbedaan atau penghinaan terhadap orang lain, tetapi sebagai pilihan Khalik yang jelas untuk 24 jam sehari penuh beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani keperluan orang orang yang kekurangan.
Studi kami telah menemukan bahwa perhatian utama hari Sabat untuk orang orang percaya adalah untuk berhenti dari pekerjaan harian supaya dapat beristirahat dalam Tuhan. Dengan membebaskan diri kita dari pekerjaan mencari nafkah setiap hari, hari Sabat membebaskan kita dan kita menyediakan diri untuk Tuhan, untuk diri kita sendiri, dan untuk orang lain, sehingga menyanggupkan kita mengalami kehadiran Khalik dan persekutuan dengan sesama manusia. Perbedaan hari Sabat dan hari Minggu bukanlah hanya perbedaan nama dan nomor, tetapi adalah perbedaan otoritas, arti, dan pengalaman. Hal ini adalah perbedaan diantara hari libur ciptaan manusia dan hari Suci yang ditetapkan oleh Allah. Perbedaan diantara sebuah hari yang dihabiskan untuk memuaskan diri sendiri dan sebuah hari yang disediakan untuk melayani Allah dan manusia. Ini adalah perbedaan diantara pengalaman sebuah hari tanpa istirahat dan sebuah hari Istirahat Khalik untuk Manusia yang tidak mempunyai istirahat .
Tamat.
(Divine Rest for Human Restlessness). Catatan penerjemah: Ringkasan disertasi ini adalah lampiran dari buku yang berjudul Sabbath, Divine Rest for Human Restlessness.
Pertanyaan mengenai bagaimana dan kapan hari pertama dalam pekan – hari Minggu – gantinya hari yang difirmankan dalam Alkitab – hari Sabat - menjadi hari istirahat dan kebaktian dari mayoritas orang Kristen, telah lama menjadi perdebatan. Khususnya pada tahun tahun belakangan ini, banyak studi, termasuk beberapa disertasi doktoral, telah mengkaji ulang pertanyaan ini. Tulisan ini, yang berusaha untuk memastikan dasar dasar Alkitabiah dan sejarah terjadinya pemeliharaan hari Minggu mungkin merupakan refleksi dari keinginan untuk menguji kembali keabsahan dan relevansi pemeliharaan hari Minggu pada saat tekanan tekanan sosial dan ekonomi sedang menyoroti masalah ini.
Pandangan historis tentang asal usul hari Minggu
Secara tradisi, pemeliharaan hari Minggu sebagai ganti Sabat hari ketujuh telah lebih sering dihubungkan dengan perintah gereja daripada perintah Alkitabiah. Thomas Aquinas, contohnya, menyatakan dengan spesifik: “Dalam hukum baru pemeliharaan hari tuhan mengganti pemeliharaan hari Sabat, bukan karena perintah Alkitab (hukum ke empat) tetapi oleh lembaga gereja”. Pandangan yang sama diulangi tiga abad kemudian dalam Katekismus Konsili Trent (1566) yang menyatakan, “adalah hal yang menggembirakan gereja tuhan bahwa perayaan keagamaan hari Sabat diganti oleh hari tuhan”. Selama kontroversi teologis pada abad ke enam belas, para teologis Katolik sering merujuk kepada asal usul hari Minggu yang berdasar pada perintah gereja ini untuk menunjukkan kekuatan gereja mereka dalam memberlakukan hukum hukum dan upacara upacara baru. Gaung dari kontroversi itu bahkan dapat kelihatan dalam buku Lutheran yang bersejarah, yaitu Pengakuan Augsburg (Augsburg Confession, 1530) yang menyatakan: “Mereka (orang Katolik) merujuk kepada hari Sabat sepertinya sudah diganti oleh hari tuhan, bertentangan dengan Sepuluh Hukum. Sungguh besar kekuatan gereja itu karena merubah satu hukum dari Hukum Sepuluh !
Pengakuan Augsburg mengakui asal usul yang berdasar pada perintah gereja untuk pemeliharaan hari Minggu dan menerima hak gereja untuk memberlakukan peraturan peraturan seperti pemeliharaan hari Minggu tetapi menolak wewenang gereja untuk menghubungkan pemeliharaan sebuah hari suci kepada sesuatu yang diperlukan untuk keselamatan. Serupa dengan itu Calvin melihat hari Minggu lebih sebagai lembaga manusia daripada lembaga ke Allah an. Dalam bukunya “Institutes of the Christian Religion”, Calvin menerangkan:”Mudah sekali untuk membuang spiritisme, hari libur Yahudi dihilangkan, dan untuk mempertahankan ketertiban dan kedamaian dalam gereja…orang orang Kristen yang mula mula mengganti hari Sabat dengan hari yang sekarang kita kenal sebagai hari tuhan”.
Pada abad abad setelah Reformasi, dua pandangan utama yang saling bertentangan telah diperdebatkan dengan hangat, mengenai asal usul dan alamiah dari hari Minggu. Pandangan pertama menetapkan bahwa hari Minggu berasal dari wewenang Allah pada saat saat awal kekristenan untuk memperingati kebangkitan Tuhan Yesus pada hari pertama dalam pekan. Pendukung pandangan ini secara umum mempertahankan pendapat hari Minggu sebagai pengganti yang sah dari Sabat hari ketujuh. Beberapa teologis terkenal yang mendukung pandangan ini adalah Erasmus (1536), Theodore Beza (1605), Nicolas Bownde (1607), Jonathan Edwards (1758), William Paley (1805), dan James Augustus Hessey (1860) dan lain lain.
Pandangan yang kedua menganggap hari Minggu sebagai lembaga gereja, tidak tergantung pada Hukum Ke Empat. Beberapa pendukung pandangan ini menempatkan asal usul hari Minggu pada jaman rasul-rasul, tetapi beberapa dari mereka menempatkannya pada jaman setelah rasul-rasul. Alasan untuk pandangan ini kebanyakan bersifat praktis, yaitu untuk menyediakan waktu bebas bagi kebaktian publik dan istirahat untuk para pekerja. Pada umumnya pandangan ini mendorong pemeliharaan hari Minggu yang lebih longgar, membolehkan seseorang bekerja, berolahraga, dan menikmati hiburan. Beberapa pendukung yang terkenal dari pandangan ini adalah gereja Katolik, Luther (1546), Calvin untuk beberapa aspek (1564), John Prideaux (1650), Hugo Grotius (1645), William Domville (1850), dan E.W. Hengstenberg (1869) dan lain lain.
Perdebatan tentang asal usul dan alamiah dari hari Minggu belum selesai sama sekali. Baru baru ini sebuah karya besar telah muncul pada kedua sisi Atlantik dengan tujuan utama untuk menerangkan sejarah terjadinya dan dasar teologis dari pemeliharaan hari Minggu. Keterangan keterangan ini pada dasarnya adalah refleksi dari dua pandangan historis yang diterangkan diatas. Pandangan yang pertama, didukung oleh cendekiawan seperti J. Francke, F.N. Lee, S.C. Mosna, Paul K. Jewett dan kerja sama antara R.T. Beckwith dan W. Stott, berpendapat bahwa hari Minggu adalah lembaga Alkitabiah yang berasal dari kebangkitan Tuhan Yesus pada hari pertama dalam pekan sebagai pengganti yang sah dari Sabat hari ketujuh. Akibatnya, hari Minggu dianggap sebagai Sabat orang Kristen yang harus dipelihara sesuai dengan Hukum ke Empat. Pandangan yang kedua berbeda dengan pandangan yang pertama karena pandangan ini meminimalisasi dasar Alkitabiah untuk pemeliharaan hari Minggu dan menyangkal adanya hubungan antara hari Minggu dan Hukum ke Empat. Pandangan ini menyatakan bahwa hari Minggu, berbeda dengan hari Sabat, bukan berasal sebagai hari istirahat tetapi sebagai waktu yang singkat untuk kebaktian yang terjadi sebelum atau sesudah jam jam kerja. Hanyalah pada abad ke empat hari Minggu menjadi hari istirahat sebagai akibat dari dekrit kaisar Constantine pada tahun 321. Para pendukung pandangan yang kedua ini menempatkan sejarah terjadinya hari Minggu pada waktu yang berbeda. Willy Rordorf, sebagai contoh, berpendapat bahwa kebaktian hari Minggu dimulai berbarengan dengan kebangkitan Kristus yang diasumsikan memberikan sebuah pola untuk perayaan ekaristi regular pada setiap hari Minggu.
Sebuah simposium yang monumental (700 halaman) yang disponsori oleh Kelompok Tyndale untuk Penelitian Alkitab di Cambridge, Inggris dan ditulis oleh para professor, seperti D.A. Carson, Harold H.P. Dressler, C. Rowland, M.M.B. Turner, D.R de Lacey, A.T. Lincoln, dan R. J. Bauckham, menyimpulkan bahwa “dapat dibayangkan dengan jelas bahwa pemeliharaan hari Sabat hari pertama …dimulai sebelum persidangan Jerusalem (49 AD). Tetapi kita tidak dapat berhenti disini. Kita harus terus mempertahankan pendapat bahwa pemeliharaan hari Sabat pertama sama sekali tidak mudah dimengerti sebagai fenomena pada jaman kerasulan dan merupakan wewenang kerasulan”. Hiley H. Ward mengusulkan waktu yang lebih kemudian untuk asal usul pemeliharaan hari Minggu dalam bukunya Space-age Sunday. Dia berpendapat bahwa hari Minggu tidak muncul sebagai perkiraan tetapi sebagai antitesis dari hari Sabat, pada saat diantara perang Yahudi yang pertama (70AD) dan kedua (135AD). Faktor utama yang memicu kebaktian hari pertama adalah ‘kenyamanan’, yaitu, keperluan praktis untuk melepaskan hubungan dengan orang Yahudi pada saat pemerintahan Roma menindas orang Yahudi sehubungan dengan pemberontakan yang sering terjadi.
Sehubungan dengan berlanjutnya perdebatan perdebatan ini, studi ini mewakili usaha baru yang ingin menjelaskan waktu, tempat, dan sebab sebab dari asal usul kebaktian hari Minggu. Apakah asal usulnya bermula di Jerusalem pada jaman rasul rasul dengan kewenangan mereka untuk memperingati kebangkitan Kristus dengan cara perayaan perjamuan Tuhan ? atau apakah asal usulnya dimulai pada saat saat berikutnya, pada sebuah tempat, dan karena faktor faktor yang berbeda? Penjelasan dan verifikasi tentang sejarah kejadian pemeliharaan hari Minggu sangatlah penting, karena hal ini tidak hanya menjelaskan mengenai asal usul tetapi juga dapat menjelaskan apakah pemeliharaan hari Minggu ini dapat diterapkan pada keKristenan dewasa ini.
Kebangkitan Tuhan Yesus dan Asal Usul hari Minggu
Kebangkitan Tuhan Yesus yang terjadi pada hari pertama dalam pekan, pada umumnya dianggap sebagai faktor dasar yang menentukan permulaan ditinggalnya pemeliharaan hari Sabat menuju pada kebaktian hari Minggu. Apakah sumber sumber dokumenter pada saat itu mendukung anggapan ini? Penelaahan saya terhadap sumber sumber ini menunjukkan bahwa anggapan ini lebih berdasar pada fantasi daripada kenyataan. Tidak ada informasi yang dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (PL) yang menganjurkan untuk memperingati kebangkitan Kristus pada hari terjadinya. Kenyataannya, dalam PL hari Minggu tidak pernah disebutkan sebagai ‘hari kebangkitan’ tetapi selalu disebut sebagai ‘hari pertama dalam pekan’. PL tidak pernah menganjurkan supaya Perjamuan Kristus diperingati pada hari Minggu, juga tidak pernah menyatakan bahwa Perjamuan Kristus diadakan untuk memperingati kebangkitan Kristus. Paulus, yang menyatakan bahwa ‘dia akan menyampaikan apa yang dia terima dari Tuhan (1 Kor 11:23) berulang ulang menyatakan bahwa upacara itu dirayakan pada saat dan hari yang tidak ditentukan (1 Kor 11:18,20,33,34).
Apakah kenyataan bahwa Kristus bangkit pada hari Minggu menyiratkan ‘perintah’ supaya orang Kristen merayakan peristiwa itu dengan beristirahat dan berbakti pada hari pertama dalam pekan? Kelihatannya peristiwa kebangkitan lebih mengisyaratkan kerja daripada istirahat. Mengapa? Paling sedikit ada dua alasan.
Pertama, peristiwa ini lebih menandai dimulainya pelayanan Kristus yang baru, bukannya penyelesaian dari misi Kristus di bumi yang terjadi pada hari Jumat sore ketika Juruselamat mengatakan ‘Sudah selesai’ (Yoh 19:30) dan kemudian beristirahat dalam kubur. Sebagai hari pertama penciptaan sebagaimana juga hari pertama misi Kristus yang baru, hal hal ini lebih menyiratkan bekerja daripada istirahat.
Kedua, sabda penting dari Tuhan yang telah Bangkit mengandung ajakan BUKAN untuk ‘datang dan merayakan kebangkitanKu’ tetapi malahan ‘pergi dan kabarkan ke sanak saudaraKu untuk datang ke Galilea’ (Matius 28:10; Mark 16:7); ‘Pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridKu, baptiskan mereka… (Mat 28:19 ; Mark 16:15); ‘pergilah kepada sanak saudaraKu’ (Yoh 20:17); ‘gembalakanlah domba dombaKu’ (Yoh 21:17). Tidak satupun dari himbauan himbauan ini mengajak untuk merayakan kebangkitan dengan berbakti atau beristirahat pada hari Minggu.
Apakah kebangkitan Kristus telah dirayakan pada jaman Perjanjian Baru (PB), pada saat perayaan Paskah seperti yang banyak orang Kristen lakukan dewasa ini? Kelihatannya tidak mungkin. Paulus menghimbau orang Kristen di Korintus untuk ‘merayakan festival Paskah’ yang di dalamnya Kristus, domba Paskah kita, telah dikorbankan’ (1 Kor 5:7,8). Adalah pengorbanan Kristus yang secara eksplisit dikaitkan dengan Paskah, bukan kebangkitanNya. Arti yang sama dari Paskah terdapat dalam dokumen-dokumen di negara negara Barat dan Timur yang mempersoalkan perayaaan festival ini. Buku apokripa yang berjudul ‘Epistle of the Apostles’ (thn 150AD) menyebutkan ‘rayakanlah peringatan kematianku’, i.e. Paskah. Penderitaan dan kematian Yesus juga mengilhami tema tema yang berulang dari buku karangan Melito ‘Sermon on the Passover’ (khotbah Paskah) (thn 170 AD) dimana sebutan Paskah diterangkan dengan salah sebagai turunan dari kata kerja ‘untuk menderita’ – tou pathein. Iraneous (thn 175) menulis bahwa Musa telah mengetahui dan diberitahu…hari penyerahanNya… dari nama yang diberikan kepada Paskah’.
Dalam sebuah buku Romawi yang berjudul Passover Homily (thn 222) yang mungkin ditulis oleh Bishop Callistus, Paskah orang Kristen diartikan sebagai perayaan pengorbanan domba Paskah sejati :’Disini (Paskah orang Yahudi) seekor domba diambil dari kawanannya, disana (Paskah Kristen) seekor domba yang turun dari Sorga: disini adalah sebuah tanda darah…disana sebuah cawan yang terisi darah dan roh. ‘ Dalam analisa terhadap buku ini, Marcel Richard kaget karena tema kebangkitan lebih sedikit daripada bukunya Melito diatas. Kesan serupa oleh Clement of Alexandria (thn 220) dan Hippolytus (thn 236) memastikan bahwa tidak hanya di Asia tetapi juga di Roma dan Alexandria, Paskah sudah dirayakan selama abad kedua (pada hari Minggu atau bulan Nisan14) terutama sebagai peringatan untuk penderitaan dan pengorbanan Kristus.
Rujukan jelas yang pertama sekali tentang pemeliharaan hari Minggu oleh orang Kristen ditulis oleh Barnabas (thn 135) dan Justin Martyr (thn 150). Kedua duanya menyebutkan kebangkitan sebagai dasar pemeliharaan hari Minggu, tetapi hanya sebagai alasan kedua, penting tetapi bukan yang dominan. Rujukan rujukan ini dan diskusi diskusi lainnya bertentangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa asal usul hari Minggu ‘adalah hanya bisa ditemukan pada fakta Kebangkitan Kristus di hari setelah hari Sabat’.
Gereja di Jerusalem dan Asal Usul hari Minggu
Apakah gereja Jerusalem merintis pemeliharaan hari Minggu menggantikan hari Sabat? Anggapan yang populer ini berdasar pada beberapa asumsi. Asumsi pertama, karena kebangkitan dan beberapa pemunculan Kristus terjadi pada hari Minggu di Jerusalem, kebaktian hari Minggu dimulai dari kota ini oleh perintah kerasulan untuk memperingati kejadian kejadian penting ini dengan hari khusus Kristen dan kebaktian. Asumsi kedua, karena perubahan hari kebaktian hanya dapat dilakukan oleh gereja yang mempunyai kekuasaan besar, gereja Jerusalem – gereja induk kekristenan – logikanya, adalah satu satunya tempat dimulainya kebiasaan ini. Lebih lanjut, tiadanya jejak jejak pertentangan mengenai hari Sabat dan Minggu diantara Paulus dan partai Judas dianggap sebagai indikasi bahwa kebaktian hari pertama mula mula sekali diresmikan oleh wewenang kerasulan di gereja Jerusalem dan akibatnya Paulus menerima hari baru untuk kebaktian ini sebagai kenyataan. Apakah asumsi asumsi ini sah dan didukung oleh catatan catatan sejarah mengenai gereja Jerusalem? Sebuah evaluasi yang objektif terhadap bukti bukti tertulis berikut ini akan memberi jawabnya.
Komposisi etnis dan orientasi teologis. Buku Kisah Para Rasul dan beberapa dokumen Judeo Kristen menunjukkan bahwa komposisi etnis dan orientasi teologis dari Gereja Jerusalem adalah sangat Yahudi. Dalam buku Kisah Para Rasul, Lukas sering melaporkan peristiwa pertobatan massal orang Yahudi: 2:41; 4:4; 5:14; 6:1, 7; 9:42; 12:24; 13:43; 14:1; 17:10; 21:20. Diantara orang orang Yahudi yang bertobat ini terdapat orang orang Yahudi yang tekun beragama (Kis 2:5,41), banyak imam imam (Kis 6:7) dan ribuan orang Yahudi yang taat pada hukum 10 (Kis 21:20).
Jacob Jervell menganalisa referensi ini yang menandai kesuksesan Lukas menginjili orang Yahudi. Ribuan orang Yahudi yang bertobat ini tidak pernah dianggap sebagai Israel baru tetapi sebagai bagian dari Israel lama yang diperbarui sesuai dengan janji Allah dalam perjanjian lama (Kis 15:16-18; 1:6; 3:11-26) Jervell mengatakan “ Karena orang Yahudi Kristen adalah Israel yang diperbarui, maka sunat dan hukum 10 menjadi identitas mereka yang menonjol”. Rekonstruksi Jervell terhadap kisah Lukas, dimana dikatakan bahwa orang Yahudi yang bertobat mewakili Israel yang diperbarui (Kis 15:16-18) melalui mana keselamatan diberikan kepada orang non Yahudi, agaknya terlalu bombastis, dan gagal untuk mempertimbangkan pengaruh dari pengajaran dan pelayanan Kristus. Kehadiran orang Kristen dalam sinagog (kaabah) pada hari Sabat juga didapati di tempat tempat di luar Jerusalem. Lukas melaporkan bahwa Paulus secara teratur bertemu dengan orang Yahudi dan Yunani di sinagog pada hari Sabat (Kis 18:4; 13:5, 14, 42, 44) dan menerangkan bahwa kehadiran itu adalah kebiasaan Paulus (Kis 17:2). Juga Apollo, pada saat tiba di Epesus, bertemu dengan umat percaya di sinagog (Kis 18:24-26).
Peranan Yakobus. Eratnya keterkaitan Gereja Jerusalem pada saat saat awal dengan tradisi keagamaan Yahudi dapat dilihat dari peranan Yakobus sebagai orang yang mempertahankan hukum (Kis 15:1, 24; Gal 2:12). Pilihan Yakobus kepada kepemimpinan Gereja Jerusalem jelas didukung oleh para imam dan orang Farisi yang sudah bertobat (Kis 6:7; 15:5) yang secara alami mendukung Yakobus karena ketaatannya yang legendaris terhadap hukum Musa.
Mengenai ketaatan ini dikonfirmasi oleh beberapa dokumen Judeo Kristen yang juga menekankan ‘faktor turunan’. Karena mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kristus (Gal 1:19) Yakobus dapat mengklaim adanya hubungan darah dengan Kristus sehingga memenuhi peran sebagai ‘imam besar’ Kristen yang sah. Hal ini menjelaskan betapa ‘keimamatan’ Kristen baru dan kepemimpinan di Jerusalaem sangat berorientasi Yahudi. Tingkah laku dasar Yakobus dan kaumnya terhadap kewajiban hukum PL lebih relevan dengan usaha pencarian informasi kita mengenai kemungkinan asal usul pemeliharaan hari Minggu di Jerusalem.
Pada rapat orang Kristen pertama (thn 49 – 50) di Jerusalem, ada banyak perdebatan mengenai apakah orang Kristen non Yahudi boleh bebas dari kewajiban sunat (Kis 15:7). Petrus, Paulus, dan Barnabas (ayat 7 dan 12) memberikan pandangan mereka mengenai masalah ini, tetapi kesimpulan terakhir datang dari Yakobus, yang membebaskan orang Kristen non Yahudi dari kewajiban sunat tetapi menganjurkan supaya mereka ini menjauhkan diri dari polusi berhala-berhala dan darah. Pembebasan yang ditetapkan oleh Yakobus ini tidak mungkin terjadi untuk masalah yang lebih penting seperti pemeliharaan hari Sabat.
Perlu dicatat bahwa otoritas dekrit kerasulan cenderung selaras dengan nabi-nabi dan Musa (Kis 15:15-18, dan ayat 21). Beberapa pemikir berpendapat bahwa dekrit itu mewakili ‘apa yang Imamat 17-18 tuntut dari orang asing yang tinggal ditengah-tengah orang Israel’. Jadi, dekrit kerasulan bukan mewakili penyimpangan hukum untuk orang non Yahudi tetapi justru merupakan penerapan dengan dasar hukum Musa yang diwajibkan bagi orang asing/non Yahudi. Pernyataan Yakobus untuk mendukung usulannya juga penting diperhatikan: “karena sejak dahulu Musa mempunyai orang-orang disetiap kota untuk membaca hukum, setiap hari Sabat di sinagog” (Kis 15:21). Walaupun pernyataan Yakobus telah diterapkan kepada bangsa-bangsa yang berbeda (non Yahudi, Kristen, Yahudi Kristen, dan pihak Kristen Farisi), kebanyakan penafsir mengakui bahwa dalam usulan dan pernyataannya, Yakobus menegaskan kembali keterkaitan alamiah dari hukum Musa yang secara tradisi dikhotbahkan dan dibaca setiap hari Sabat di sinagog-sinagog.
Kunjungan terakhir Paulus ke Jerusalem. (Kis 21, thn 58-60) dan pernyataan Lukas bahwa Paulus ‘ingin segera berada di Jerusalem, jika mungkin, pada hari Pentakosta (Kis 20:16) dan bahwa mereka telah ikut hari ‘perayaan roti tidak beragi’ di Philippi (Kis 20:6) mengesankan bahwa jadwal liturgi Yahudi secara normatif diikuti oleh orang Kristen. Yang terjadi di Jerusalem sendiri sangat menjelaskan hal ini. Yakobus dan para penatua tidak hanya mengatakan kepada Paulus bahwa ribuan orang Yahudi yang bertobat adalah orang yang taat kepada hukum (Kis 21:20) tetapi juga mendesak Paulus untuk membuktikan bahwa dirinya juga memelihara hukum (Kis 21:24), dengan menjalani upacara penyucian di kaabah. Dalam konteks ketaatan yang sungguh kepada pemeliharaan hukum ini, sulit untuk meyakinkan diri kita sendiri bahwa Gereja Jerusalem telah melanggar salah satu keyakinan dasarnya – pemeliharaan hari Sabat – dan sebagai gantinya merintis pemeliharaan hari Minggu. Seperti yang dicatat dengan benar oleh M.M.B. Turner, “kepemimpinan Yakobus, yang keYahudiannya legendaris, dan oleh elemen elemen konservativ (imam imam dan Farisi), telah mempertahankan pemeliharaan hari Sabat di Jerusalem dan gereja gereja sekitarnya.”
Gereja Jerusalem setelah tahun 70.
Situasi sangat berubah setelah penghancuran kaabah oleh Romawi pada tahun 70. Sejarawan Eusebius (kira kira tahun 260 – 340) dan Epiphanius (kira kira tahun 315 – 403) menginformasikan bahwa sejak pengepungan Hadrian (thn 135) Gereja Jerusalem beranggotakan orang Yahudi yang telah bertobat, yang digambarkan sebagai orang yang ‘ingin mempertahankan penurutan kepada hukum’. Kenyataannya, sekte Kristen Yahudi Palestina Orthodox dari kaum Nazaret, yang umumnya diakui sebagai ‘turunan langsung dari komunitas asal’ Jerusalem, menurut Epiphanius, pada abad keempat, masih memelihara praktek praktek PL seperti ‘sunat, hari Sabat, dan lain lain’.
Jelaslah sudah implikasinya. Kebiasaan tradisi pemeliharaan hari Sabat dipertahankan oleh orang Kristen Palestina lama setelah penghancuran Kaabah. Kesimpulan ini sejalan dengan ‘kutuk orang Kristen’ (Birkath-ha-Minim), doa yang diperkenalkan oleh otoritas kerabian Palestina (kira kira thn 80-90) untuk membasmi partisipasi Kristen Yahudi dalam pelayanan sinagog Yahudi. Partisipasi orang Kristen Palestina dalam pelayanan di sinagog tidak cukup beralasan bila dianggap mereka memperkenalkan hari kebaktian baru. Data historis ini melemahkan semua teori yang mengatakan bahwa Jerusalem adalah perintis kebaktian hari Minggu. Dari semua gereja gereja Kristen, Gereja Jerusalem adalah yang paling dipengaruhi oleh tradisi keagamaan Yahudi.
Peraturan Hadrian.
Perubahan yang radikal terjadi dalam dunia Yahudi setelah tahun 135, dimana penguasa Romawi Hadrian menumpas pemberontakan Yahudi kedua yang gagal, yang dipimpin oleh Barkokeba (132-135). Jerusalem menjadi jajahan Romawi, tidak termasuk orang orang Yahudi dan Kristen Yahudi. Pada saat itu Hadrian melarang praktek agama Yahudi di seluruh kerajaan, terutama pemeliharaan hari Sabat. Kebijakan anti Yahudi yang represif ini menyebabkan pembuatan literatur ‘Kristen’ melawan Yahudi, Adversus Judaeos, yang menganjurkan pemisahan dari dan penghinaan terhadap orang Yahudi. Kebiasaan unik Yahudi seperti sunat dan pemeliharaan hari Sabat sangat dilarang. Mempertimbangkan hal seperti ini, wajar jika kita mengindikasikan bahwa pemeliharaan hari Minggu diperkenalkan pada saat ini dalam hubungannya dengan Paskah hari Minggu, sebagai usaha untuk menjelaskan kepada otoritas Roma perbedaan Kristen dan Judaisme. Kepada indikasi seperti inilah kita perlu memusatkan perhatian.
Roma dan Asal Usul Pemeliharaan Hari Minggu
Festival-festival keagamaan baru seperti pemeliharaan hari Minggu lebih mungkin diperkenalkan dan diikuti oleh sebuah gereja yang memutuskan hubungannya dengan Yudaisme pada saat awal. Gereja itu diakui secara luas. Seperti yang sudah kita lihat, hal ini tidak termasuk Gereja Jerusalem sebelum tahun 135, karena setelah waktu ini gereja Jerusalem kehilangan kebanggaan keagamaannya dan nyaris tidak berarti apa apa lagi, sehingga sulit dikatakan gereja Jerusalem ini telah merintis perubahan yang tersebut diatas. Kelihatannya, lebih mungkin gereja itu merujuk kepada gereja yang berada di ibukota Roma, karena kondisi sosial, keagamaan, dan politik yang ada disekitar gereja Roma yang mengizinkan dan mendorong ditinggalkannya hari Sabat dan sebagai gantinya mengikuti kebaktian hari Minggu.
Karakteristik Gereja Roma. Berbeda dengan gereja gereja timur pada umumnya, anggota anggota gereja Roma didominasi oleh orang-orang non Yahudi yang telah bertobat. Dalam suratnya kepada gereja Roma, Paulus dengan jelas mengatakan: “Saya berbicara kepadamu, hai orang orang non Yahudi ,” (Roma 11:13). Sehingga pada jaman itu di Roma, seperti yang dinyatakan oleh Leonard Goppelt, “perbedaan antara gereja dan sinagog ditemukan dimana-mana, sesuatu yang tidak ada pada gereja gereja timur.”
Anggota anggota non Yahudi mayoritas inilah yang mendukung pembedaan dengan orang Yahudi di Roma. Contohnya pada tahun 64 Kaisar Nero dengan jelas membedakan orang Yahudi dengan orang Kristen ketika dia menuduh orang Yahudi bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi pada saat itu. Kenyataan bahwa proses pembedaan Kristen dengan Yahudi terjadi di Roma lebih awal daripada di Palestina menyiratkan kemungkinan bahwa hari kebaktian baru mungkin saja diperkenalkan pertama kali di Roma sebagai bagian dari proses pembedaan dengan Yudaisme. Untuk mengerti sebab sebab yang mungkin dari proses pembedaan ini, perlu untuk mengetahui dengan singkat hubungan antara kerajaan Roma dan orang Yahudi pada saat itu.
Dimulai dengan pemberontakan pertama Yahudi melawan Roma (thn 66 sampai 70), berbagai cara digunakan untuk menekan orang Yahudi: militer, politik, dan pajak. Pemberontakan orang Yahudi meletus diberbagai daerah: Mesopotamia, Cyrenaica, Palestina, Mesir dan Siprus. Selama perang besar Yahudi (thn 70 dan 135) lebih dari sejuta orang Yahudi dibantai dalam perang di Palestina saja.. Secara politik, Vespasian (69-79) membubarkan majelis Sanhedrin dan lembaga imam besar. Berikutnya Hadrian (sekitar thn 135) melarang praktek praktek Yudaisme, terutama pemeliharaan hari Sabat. Secara pajak, orang Yahudi dikenakan pajak yang diskriminatif (fiscus judaicus) yang disahkan oleh Vespasian dan dinaikkan pertama kali oleh Domitian (81-96) dan kemudian oleh Hadrian (117-138).
Indikasi dari berbagai tekanan intensif yang terjadi di Roma adalah ditemukannya tulisan tulisan yang menghina Yahudi oleh penulis penulis seperti Seneca, Persius (34-62) Petronius (sekitar thn 66), Quintillian (35-100), Martial (40-104), Plutarch (46-119), Juvenal (sekitar 125) dan Tacitus (sekitar 55-120). Para penulis ini tinggal di Roma selama umur produktif mereka. Penulis-penulis ini menyiksa orang-orang Yahudi, secara rasial dan budaya, melawan pemeliharaan hari Sabat dan sunat, sebagai contoh dari kebiasaan Yahudi yang mereka katakan ‘tidak jelas gunanya’. Ketidaksenangan orang Roma terhadap orang Yahudi memaksa Titus untuk menyuruh Jewess Berenice, saudara perempuan raja Herodes, untuk meninggalkan Roma. Padahal Titus berencana akan menikahi wanita itu. Masalah Yahudi, seperti yang sudah kita lihat, menjadi lebih parah pada jaman Hadrian karena penindasan yang radikal terhadap agama Yahudi. Keadaan keadaan ini, juga dengan adanya konflik antara Yahudi dan orang Kristen, mendorong timbulnya literatur/ buku buku anti Yahudi yang mengembangkan sebuah ‘teologi’ Kristen yang terpisah dari dan merendahkan Yahudi. Contoh yang jelas dari keadaan ini adalah penggantian festival festival unik Yahudi seperti Passover dan hari Sabat dengan Paskah hari Minggu dan pemeliharaan hari Minggu.
Roma dan hari Sabat. Pusat dari berkembangnya keadaan ini kelihatannya adalah Gereja Roma dimana cara cara teologis, sosial, dan liturgis telah dilakukan untuk mengajak orang orang Kristen meninggalkan kebaktian hari Sabat dan mendorong kebaktian hari Minggu. Secara teologis, hari Sabat telah diturunkan derajatnya dari ketentuan yang berlaku universal kepada ketentuan buatan manusia yang sementara. Secara sosial, hari Sabat telah dirubah dari hari tradisi untuk berpesta dan bergembira (feasting and gladness) kepada hari untuk berpuasa dan gelap (fasting and gloom). Peranan Gereja Roma dalam mempromosikan dan merintis puasa hari Sabat jelas dicatat dalam rujukan sejarah dari Bishop Callistus (217-222), Hippolytus (170-236), Bishop Sylvester (314-335). Paus Innocent I (401-417), Augustine (354-430) dan John Cassian (360-435).
Puasa hari Sabat tidak hanya untuk melambangkan kesedihan untuk kematian Kristus, tetapi, seperti dinyatakan dengan empati oleh Bishop Sylvester, untuk menunjukkan penghinaan kepada orang Yahudi – exsecratione Judaeorum. Kesedihan dan rasa lapar sebagai akibat dari berpuasa akan menyebabkan orang orang Kristen untuk menghindar dari pemeliharaan hari Sabat bersama dengan orang Yahudi, dan mendorong mereka dengan penuh keinginan dan kegembiraan memelihara hari Minggu. Secara liturgis, hari Sabat dibuat sebagai hari non keagamaan karena tidak ada upacara yang boleh dijalankan selama hari Sabat, karena upacara upacara ini dianggap membatalkan puasa.
Kemungkinan besar hari Sabat mingguan berkembang dengan pesat sebagai perluasan atau pasangan dari Sabat suci tahunan pada musim Paskah pada saat orang Kristen berpuasa. Kedua hal ini dirancang bukan hanya untuk mengekspresikan kesedihan karena kematian Kristus tetapi juga penghinaan untuk orang Yahudi. Lagipula, karena puasa mingguan dan tahunan Sabat sebagaimana hari Minggu mingguan dan Paskah hari Minggu sering ditunjukkan oleh para bapa sebagai hal yang saling berhubungan dalam arti dan fungsinya, sangatlah mungkin bahwa praktek praktek ini berasal bersama sama sebagai bagian dari perayaan paskah hari Minggu. Karena itu adalah penting untuk memastikan waktu, tempat, dan penyebab penyebab dari asal usul paskah hari Minggu, karena hal ini dapat menuntun kepada asal usul pemeliharaan hari Minggu.
Roma dan Paskah hari Minggu. Langkanya dokumen yang tersedia dan sifat yang kontroversial dari masalah ini menyulitkan untuk menentukan dengan pasti dimana, kapan, dan oleh siapa paskah hari minggu pertama kali dilakukan. Sejarawan Eusebius (260-340) menyediakan informasi tentang kontroversi yang meledak pada abad kedua diantara gereja Roma, yang meresmikan tanggal paskah hari Minggu, dan orang orang Kristen Asia yang mempertahankan perayaaan Passover pada bulan Nisan 14 (dikenal sebagai tradisi Quartodeciman). Sebagai pendukung kuat dari perayaan paskah hari Minggu yang diresmikan oleh Konsili Nicaea (325) Eusebius tidak segan segan memberi hari ini suatu asal usul kerasulan. Kenyataannya, dalam laporannya, Eusebius dengan jelas memastikan bahwa paskah hari Minggu “berasal dari tradisi kerasulan dari dahulu hingga kini”. Juga dalam kesimpulannya, Eusebius menyebutkan bahwa synode Palestina (yang diadakan sekitar tahun 198 atas permintaan Bishop Victor dari Roma) memandang paskah hari Minggu sebagai ‘telah turun dari para rasul’.
Dengan informasi informasi seperti diatas, Eusebius telah sungguh berhasil mengacaukan beberapa ahli yang tidak sengaja menerima asal usul kerasulan paskah hari Minggu. Tetapi kalau kita membaca karya Eusebius dengan hati-hati, pasti kita dapat melihat bias dari pernyataan-pernyataannya yang tidak tepat. Seperti yang dicatat oleh Marcel Richard, “sejak awal bukunya , kita mengamati bahwa Eusebius mengartikan Paskah Quartodeciman sebagai ‘tradisi lama’ sementara dia mengatakan paskah hari Minggu berasal dari ‘tradisi kerasulan’ dan disebut dengan jelas sebagai ‘hari kebangkitan Tuhan’, kentara sekali pembelaan Eusebius”. Referensi referensi yang tersedia paling awal mengenai paskah hari Minggu dan tradisi Quartodeciman menyebutkan dasar Passover sebagai perayaan kesedihan Kristus, dan bukan KebangkitanNya. Tertullian (160-225) sebagai contoh, merujuk kepada “passover Tuhan, yaitu kesedihan Kristus”. Fakta ini juga didukung oleh usaha Origen untuk menyangkal interpretasi Passover sebagai ‘kesedihan’ dengan menunjuk arti etimologis dari kata bahasa Ibrani pesah, yang berarti ‘untuk melewati / pass over’.
Kesalahan Eusebius lebih nampak pada saat dia menjelaskan asal usul Passover Quartodeciman. Dalam memperkenalkan dua surat penting dari Polycarp dan Irenaeus, Eusebius selalu menyebutkan tradisi Quartodeciman sebagai ‘kebiasaan lama’ dan ‘kebiasaan kuno’ bukan sebagai ‘tradisi kerasulan’. Eusebius menyediakan tradisi kerasulan ini khusus untuk Paskah Hari Minggu. Padahal, dokumen yang dikutip dua kali oleh Eusebius dengan jelas menyebutkan asal usul tradisi kerasulan untuk Passover Quartodeciman, dan tidak menyebutkan apa apa tentang adanya asal usul kerasulan untuk Paskah hari Minggu.
Dalam kepentingan Eusebius untuk mempertahankan asal usul kerasulan bagi Paskah hari Minggu, Eusebius sebetulnya mempunyai kesempatan untuk menjelaskan bukti bukti tertulis, bila memang ada (tetapi kelihatannya tidak ada dokumen yang dapat dijadikan dasar). Sebagian dari surat Iraneous yang dikutip oleh Eusebius malah lebih menyiratkan bahwa Paskah hari Minggu ada sejak awal abad kedua. Hal ini kelihatan dari himbauan Irenaeus kepada bishop Victor dari Roma (sekitar thn 189-199) untuk mencontoh pendahulunya, yaitu Anicetus dan Pius dan Hyginus dan Telephorus dan Sixtus, yang merayakan Paskah pada hari Minggu, tetapi tidak pernah ribut dengan orang yang merayakan Paskah pada bulan Nisan 14.
Sinyalemen Irenaeus tentang bishop Sixtus (116-126) yang pertama kali tidak memelihara Paskah Quartodeciman menyediakan satu kemungkinan bahwa Paskah hari Minggu mulai dipelihara di Roma pada hari Minggu sejak jaman itu.
Kesimpulan ini telah diambil oleh beberapa cendekiawan. Henri Leclerg, contohnya, dengan dasar pesan Irenaeus, menempatkan asal usul Paskah hari Minggu pada awal abad kedua, dibawah masa bishop Sixtus I di Roma, sekitar tahun 120. Karl Baus menulis hal yang sama: “Tidaklah mungkin lagi untuk menentukan kapan dan oleh siapa Paskah hari Minggu ini diperkenalkan di Roma, tetapi pasti hal ini ditetapkan di Roma pada awal abad kedua, karena Irenaeus dengan jelas berasumsi bahwa hari ini telah ada pada jaman Bishop Roma Xystus”. J.
Jeremiah juga mengungkapkan “Irenaeus melacak kembali Paskah hari Minggu Roma ini kepada Xystus, walaupun Irenaeus tidak menyebutkan waktu yang tepat. Hipotesa yang menyatakan asal usul Roma untuk Paskah hari Minggu pada jaman Xystus secara tidak langsung didukung oleh pernyataan Epiphanius bahwa kontroversi mengenai Paskah timbul setelah eksodus bishop yang pro kepada ajaran sunat dari Jerusalem. Eksodus ini diperintahkan oleh Kaisar Hadrian pada tahun 135 setelah menumpas pemberontakan Yahudi yang kedua. Kaisar ini, seperti telah dicatat di depan, menganut kebijakan garis keras terhadap kebiasaan dan upacara upacara Yahudi. Untuk mencegah tekanan dari pemerintah bishop Sixtus boleh jadi telah mengganti festival festival khas Yahudi seperti hari Sabat mingguan dan Paskah tahunan, dengan hari Minggu dan Paskah hari Minggu.
Penerapan Paskah hari Minggu beberapa tahun kemudian di Jerusalem oleh bishop bishop Yunani yang baru yang menggantikan pemimpin kristen Yahudi pasti ditolak oleh orang orang yang tidak siap menerima perubahan itu. Sementara asal usul yang pasti dari Paskah hari Minggu masih saja menjadi perdebatan, kelihatannya ada konsensus yang luas dari pendapat para cendekiawan untuk menganggap Roma sebagai ‘tempat kelahiran’ hari ini. Beberapa cendekiawan, kenyataannya, menamai Paskah hari Minggu itu sebagai Paskah Roma. Hal ini menyiratkan bahwa bukan hanya gereja Roma yang menekankan kebiasaan baru ini tetapi juga sumber sumber sejarah yang ada di kemudian hari. Dua dokumen yang saling berhubungan, yaitu surat konsili dari Kounsel Nicaea (325) dan surat pribadi Constantine kepada semua bishop, gereja Roma disebutkan sebagai contoh pertama untuk Paskah hari Minggu, hal ini pasti karena posisi historis dan peranan gereja ini dalam mendukung pemeliharaan Paskah hari Minggu.
Penyebarluasan Paskah Hari Minggu
Apa yang menyebabkan banyak orang Kristen beralih dari Paskah Quartodeciman kepada Paskah hari Minggu? Apakah karena ada sebab khusus, seperti pada kasus ditinggalkannya pemeliharaan hari Sabat untuk memisahkan diri dari orang Yahudi dan kebiasaan kebiasaan keagamaannya? Banyak cendekiawan mengakui anti Yudaisme sebagai faktor yang penting. J. Jeremias, sebagai contoh, melihat “kecenderungan untuk memisahkan diri dari Yudaisme” sebagai alasan utama yang menyebabkan Roma dan gereja gereja lain mengganti tanggal Paskah dari tanggal Paskah Yahudi (quartodeciman) ke hari Minggu berikutnya. Juga J.B. Lightfoot yang berpendapat bahwa Roma dan Alexandria bahkan memelihara Paskah hari Minggu supaya tidak kelihatan seperti orang Yahudi.
Kenneth A. Strand menolak penjelasan ini dengan berpendapat bahwa “sentimen anti Yahudi sudah jelas untuk periode awal abad kedua yang menunjuk kepada hari Sabat mingguan dan hari Minggu, tetapi dalam hal Paskah Quartodeciman dan Paskah hari Minggu…sesungguhnya, dinyatakan dalam surat Irenaeus bahwa bishop bishop Roma, dari Sixtus sampai kepada Anicetus mempunyai hubungan yang dekat dengan Quartodeciman”
Argumen Strand ini gagal melihat fakta yang penting. Pertama, hubungan yang dekat diantara Quartodeciman dengan pemelihara Paskah hari Minggu tidak meniadakan keberadaan sentimen anti Yahudi. Justin Martyr, sebagai contoh, berbicara tentang orang Kristen pemelihara hari Sabat yang tidak memaksa orang lain untuk memelihara hari Sabat, dengan jelas menyatakan “Saya pikir kita harus bergabung dengan mereka (para pemelihara Sabat itu) dan bersama sama seperti orang yang bersaudara” Tetapi kita mencatat pada awalnya bahwa Justin melihat hari Sabat sebagai merek dagang dari imoralitas Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa “hubungan yang baik” dan “perasaan anti Yahudi” tidak selalu berdiri sendiri. Kedua, pernyataan Strand bahwa “perasaan anti Yahudi” ada dalam kontroversi Sabbath/Minggu tetapi tidak ada dalam kontroversi Paskah Quartodeciman dan Paskah hari Minggu, tidaklah akurat. Ayat pertama dari lagu “Paschal Homily” yang ditulis oleh Melito dari Sardis sekitar tahun 170, mengartikan Passover dalam terang “pembunuhan besar” Kristus oleh orang Yahudi:
Kamu membunuh orang ini pada saat pesta besar Allah telah dibunuh Raja orang Israel telah dihancurkan, oleh tangan kanan Israel Pembunuhan yang sangat menakutkan, sangat tidak adil!
A.T. Kraabel dengan tepat menyatakan keterkejutannya dan mengatakan bahwa kalau saja para pengajar ini telah membaca dokumen Quartodeciman ini, maka mereka tidak akan mengaitkan hal ini dengan serangan yang panjang dan pahit terhadap Israel. Perasaan anti Yahudi yang sama terdapat dalam Pengajaran dua belas rasul yang populer (awal paruh pertama abad ke tiga) dimana orang Kristen diajak untuk berpuasa pada hari Jumat Paskah dan hari Sabat, untuk “ ketidakpatuhan saudara saudara kita (orang Yahudi)” karena saudara saudara ini telah membunuh diri mereka sendiri dengan menyalibkan Juruselamat kita.
Dokumen ini dan dokumen dokumen lain dengan jelas menunjukkan bahwa sentimen anti Yahudi ada dalam pemeliharaan Quartodeciman dan juga Paskah hari Minggu. Kenyataannya, tidak ada perbedaan teologis yang penting yang dapat dideteksi diantara dua tradisi ini. Dalam kedua tradisi ini, perayaannya terdiri dari pesta yang diikuti dengan perayaan menghormati pengorbanan Kristus. Letak kontroversinya bukan pada arti teologis dari Paskah tetapi pada panjangnya pesta dan tanggal penghormatan.
Dalam dua tradisi ini sentimen anti Yahudi ada dan kenyataan ini membantu menjelaskan adanya hubungan yang baik diantara praktek yang berbeda. Jelaslah bahwa orang Kristen yang memelihara Paskah pada hari Minggu yang terjadi setelah Paskah Yahudi dapat membedakan dirinya lebih jelas dengan orang Yahudi dari pada orang Kristen yang memelihara Quartodeciman pada tanggal yang sama dengan Yahudi. Faktor ini, yang sekarang dapat kita lihat, menyumbang banyak pada tersebar luasnya praktek Paskah hari Minggu. Perkembangan yang dapat diperkirakan yang terjadi pada paruh kedua abad yang kedua mengakhiri hubungan yang baik diantara dua tradisi ini.
Orang yang memelihara Quartodeciman dengan mempertahankan tanggal Yahudi dengan mudah akan menerima cara Yahudi dalam memelihara Paskah. Hal inilah yang terjadi pada tahun seratus enam puluhan, ketika beberapa pemelihara Quartodeciman, seperti dilaporkan oleh Apollinaris, bishop dari Hierapolis (sekitar thn 170) “tidak peduli menciptakan perlawanan…” mengklaim bahwa Tuhan memakan domba paskah bersama murid2Nya pada tanggal Nisan 14 dan Dia menderita pada hari raya roti tidak beragi (nisan 15)”. Para pemelihara Quartodeciman yang radikal ini menyatakan bahwa orang Kristen harus merayakan Paskah perjanjian lama pada saat yang sama dan dengan cara yang sama dengan orang Yahudi, makan domba paskah dalam pesta yang khidmat pada tanggal Nisan 14. Pemelihara Quartodeciman lainnya, malahan, menyatakan bahwa orang Kristen harus merayakan kematian Kristus bukannya pesta paskah Yahudi.
Pertentangan yang terjadi meluas diluar benua Asia dan bertambah lama. Pada awal abad ketiga, tulisan tulisan Clement di Alexandria dan Hippolytus di Roma menentang penganut Quartodeciman yang radikal ini yang didukung oleh komunitas mereka. Di Roma, masalahnya semakin menjadi-jadi ketika Blastus, seorang pemimpin gereja, pada tahun 180 menjadi pemimpin dari sebuah gereja yang mandiri. Tertullian melaporkan bahwa Blastus ingin menerapkan Yudaisme secara sembunyi, dengan mengatakan bahwa hari Paskah hanya boleh dirayakan pada tanggal 14 sesuai dengan hukum Musa.
Seorang bishop Roma bernama Victor ( 189-198) menyadari bahwa satu satunya cara menumpas kaum Yahudi Quartodeciman di Roma ini adalah dengan menyerang langsung semua tradisi Quartodeciman, yang berakar kuat diantara gereja gereja di Asia. Victor melaksanakan caranya dengan memerintahkan bishop bishop di Asia, juga di sejumlah propinsi propinsi lain untuk menyeragamkan pelaksanaan Paskah hari Minggu di daerah bishop masing masing, yang disebut sebagai sinode. Perintah Victor ini dipatuhi dan sejumlah sinode dilaksanakan yang hampir semuanya mendukung Paskah Romawi.
Selain perintah Victor ini, paling sedikit ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya penerimaan yang luas terhadap Paskah Romawi pada saat ini.
Pertama, ada kelompok Quartodeciman radikal yang memaksa untuk memperingati Paskah, bukan hanya pada tanggal Yahudi tetapi juga sesuai dengan cara cara Yahudi, seperti memakan domba Paskah. Kelompok ini kelihatannya menyebabkan pertentangan yang besar di gereja gereja di Asia, Alexandria, dan di Roma sendiri. Perubahan perayaan Paskah dari tanggal Nisan 14 (yang merupakan tanggal Yahudi) ke hari Minggu berikutnya dipandang oleh banyak bishop sebagai cara efektif untuk menahan kecenderungan kebiasaan Yahudi dalam gereja gereja mereka.
Kedua, nilai teologis yang sedang trend pada saat itu mengenai kebangkitan Yesus, sangat mungkin didorong oleh praktek Paskah hari Minggu, karena praktek ini memungkinkan seseorang untuk merayakan kematian Yesus dan kebangkitanNya sekaligus pada hari dimana kedua peristiwa itu terjadi.
Ketiga, perpecahan yang meluas diantara gereja dan sinagog – yang terbukti dari banyaknya buku buku yang bertema melawan Yahudi yang dibuat pada saat itu – mendorong banyak orang Kristen untuk memisahkan diri mereka dari orang Yahudi dan festival festival tradisional Yahudi seperti hari Sabat dan Paskah.
Mengenai hari Sabat, kami telah kemukakan pada bagian terdahulu adanya taktik taktik yang dilaksanakan oleh gereja Roma untuk menjauhkan orang Kristen dari pemeliharaan hari Sabat dan menggantikannya dengan pemeliharaan hari Minggu. Mengenai Paskah, gereja Roma menerapkan perhitungan kalender independen yang didesain untuk meyakinkan bahwa hari bulan penuh selalu jatuh setelah equinox musim semi (sebuah peristiwa yang tidak dianggap oleh orang Yahudi) dan menjamin bahwa Paskah hari Minggu tidak akan pernah dirayakan pada saat yang sama dengan Paskah Yahudi.
Motif anti Yahudi dari perhitungan yang baru itu jelas kelihatan dalam disertasi Perhitungan Paskah, yang diarahkan kepada Cyprian dan dibuat pada tahun 243, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat pada tablet Easter Roma yang dibuat oleh Hippolytus (+/- 222). Pada bagian pendahuluannya, penulisnya menyatakan “Kami ingin menunjukkan kepada mereka yang mengasihi dan menginginkan studi mengenai kekekalan bahwa orang Kristen tidak perlu menjauh dari jalan kebenaran atau berjalan dalam kebutaan dan kebodohan yang orang Yahudi pikir mereka tahu pada hari apakah Paskah itu”.
Motif anti Yahudi yang sama dalam penolakan Paskah Quartodeciman jelas nampak hampir seabad kemudian dalam surat Nicene yang dibuat oleh Constantine, yang menghimbau orang Kristen untuk secara penuh mengadopsi praktek Paskah hari Minggu yang diterapkan oleh gereja Roma, supaya “tidak mempunyai kesamaan dengan kumpulan Yahudi yang dibenci… semua orang harus bersatu … menghindar dari berpartisipasi dalam kelakuan orang Yahudi”. Penjelasan yang singkat ini diharapkan dapat cukup menunjukkan bahwa sentimen anti Yahudi sesungguhnya ada dalam interpretasi teologis mengenai Quartodeciman dan Paskah hari Minggu, dan bahwa sentimen ini besar peranannya pada penerapan Paskah hari Minggu secara luas. Kedekatan Paskah hari Minggu dan pemeliharaan hari Minggu menyiratkan adanya motif anti Yahudi yang sama yang berperan pada kepopuleran pemeliharaan hari Minggu sebagai ganti pemeliharaan hari Sabat. Kami telah menemukan pendukung untuk kesimpulan ini dalam kesamaan motif dan cara yang dilakukan oleh gereja Roma untuk mendukung pemeliharaan hari Minggu dan Paskah hari Minggu, sebagai ganti dari apa yang dipandang sebagai hari Sabat dan Paskahnya “Yahudi”.
Dominasi Gereja Roma. Apakah gereja Roma, pada abad kedua, menikmati kekuasaan yang cukup untuk memperkenalkan dan mendukung pemeliharaan hari hari raya baru seperti hari Minggu dan Paskah hari Minggu, diantara gereja gereja Kristen? Dokumen dokumen yang tersedia dengan mantap menunjukkan adanya kekuasaan yang besar dan pengaruh yang besar dari gereja Roma pada saat itu. Beberapa contoh akan dikutip sebagai illustrasi. Ignatius, menulis dalam pendahuluan untuk Surat kepada orang Roma, memberi selamat kepada gereja Roma dengan kata kata penghormatan yang jauh lebih tinggi dari kata katanya pada surat ke gereja gereja lain. Gereja Roma, seperti ditulis oleh Ignatius, “bertahta pada tempat terhormat dalam daerah kekuasaan Roma; sebuah gereja milik Allah, yang memiliki kehormatan, memiliki penyucian, dan bertahta dalam kasih, memiliki kasih Yesus, dan membawa nama Bapa”. Ungkapan “bertahta dalam kasih” telah menjadi bahan diskusi para terpelajar. Istilah “kasih” - agape – berulang ulang digunakan oleh Ignatius sebagai personifikasi kumpulan orang Kristen dimana kasih seperti itu diwujudkan.
Untuk orang Trallians, contohnya, Ignatius menulis “Kasih orang Smirna dan Epesus mengirim kepadamu ucapan selamat” . Hal ini adalah tanda bahwa Ignatius melekatkan gereja Roma pada Tahta Kasih (bukan hukum), yaitu, perhatian yang utama untuk kesejahteraan gereja gereja lain. Sayang sekali bahwa yang pada mulanya adalah bertahta dalam kasih lambat laun menjadi dominasi hukum, yang berdasarkan pada tuntutan juridis. Bahwa Ignatius mengetahui kebertahtaan Roma pada kasih ditandai oleh himbauannya kepada gereja yang sama untuk gereja gereja yang tersebar di tempat lain: “Ingatlah dalam doa doamu gereja Syria, yang telah memiliki seorang Pendeta menggantikan saya. Yesus Kristus sendiri yang akan mengawasi gereja ini, bersama sama dengan kasih mu” (9:1).
Apakah wajar bila Ignatius mempercayakan pengawasan dan pendampingan gereja Antiokia kepada gereja Roma yang berada jauh secara fisik dan mungkin anggota anggotanya tidak saling mengenal? Mungkin lebih baik Ignatius mempercayakan tugas pendampingan ini kepada salah satu gereja di Asia, yang lebih dekat lokasinya dengan Antiokia. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Ignatius melekatkan gereja Roma sebagai memiliki fungsi penting untuk kepemimpinan pastoral. Irenaeus, bishop dari Lyons, dalam bukunya Melawan Penyimpangan (ditulis sekitar thn 175 – 189) menghimbau orang orang yang menyimpang untuk memperhatikan tradisi kerasulan yang dijaga khusus oleh gereja Roma. Dia menyebut gereja Roma sebagai ‘gereja yang terbesar, tertua, dan dikenal secara luas sebagai gereja yang didirikan dan diorganisir oleh dua rasul yang paling terkenal, yaitu Petrus dan Paulus…sehingga semua gereja harus sejalan dengan gereja ini, karena kuasanya yang hebat, dan terpercaya dimana saja, seperti halnya dengan tradisi kerasulan yang dijaga terus menerus oleh orang orang di seluruh dunia”. Tulisan Irenaeus ini banyak mengandung kesalahan fatal. Jelas bahwa gereja Roma bukanlah gereja tertua karena didirikan setelah gereja di Jerusalem. Juga, bukanlah Paulus yang mendirikan gereja Roma. Dalam suratnya kepada orang Roma, Paulus jelas menyebutkan bahwa dia bukanlah pendiri gereja ini (Roma 15:20-24). Oleh karena itu, pengakuan ini membuktikan adanya sebuah metode untuk mensahkan pendapat yang dipaksakan bahwa gereja Roma adalah gereja yang tertua.
Satu contoh lain tentang otoritas gereja Roma adalah peraturan yang dibuat oleh bishop Victor untuk memaksakan pemeliharaan Paskah hari Minggu. Bishop ini, seperti sudah dicatat terdahulu, meminta kerja sama dari semua konsili di banyak propinsi untuk melaksanakan pemeliharaan Paskah hari Minggu (sekitar tahun 196). Patut dicatat bahwa bahkan bishop bishop yang membenci Roma patuh kepada permintaan Victor ini. Misalnya, Polycrates, bishop Epesus, yang berbicara atas nama himpunan bishop dalam masalah permintaan Victor.
Apakah kepatuhan ini hanya karena sekedar menyenangkan Victor, seperti diargumentasikan oleh Kenneth Strand? Nada bicara Polycrates yang menolak, lebih menyiratkan adanya tekanan yang dibuat oleh Victor kepada para bishop untuk melaksanakan kebiasaan Roma. Hal ini juga didukung oleh tindakan Victor yang drastis ketika dia diberitahukan tentang penolakan bishop bishop di Asia terhadap Paskah hari Minggu: Dia (Victor) menulis surat dan mengumumkan bahwa semua bishop bishop tersebut akan dikucilkan. Jean Colson dengan tepat menulis: “perhatikanlah kekuatan universal dari pengucilan yang dilancarkan oleh bishop Roma ini. Pengucilan ini juga berarti pengucilan dari seluruh gereja di dunia”.
Pentingnya kebijakan Victor ini dengan gamblang dianalisa oleh George La Piana dalam essaynya yang begitu menerobos yang diterbitkan pada Harvard Theological Review. La Piana menerangkan bahwa “Ketika Victor ingin melarang sebuah tradisi yang merujuk kepada kebiasaan kerasulan, yang menjadi penghalang untuk persatuan komunitasnya dan kejayaan kepausan, Victor memasukkan sebuah doktrin yang mengatakan bahwa tradisi tidak perlu menjadi penghalang kemajuan sebuah institusi yang hidup…ini adalah sebuah awal dari proses sejarah yang memimpin gereja Roma untuk mengidentifikasi tradisi Kristen dengan doktrin dan organisasi dirinya sendiri.”
Pentingnya peraturan disiplin yang dibuat oleh gereja Roma untuk memaksakan praktek prakteknya terhadap orang Kristen di seluruh dunia diperhatikan oleh hanya sedikit pihak. Seperti yang diterangkan oleh La Piana, peraturan peraturan ini menyumbang pada pertambahan dan terkonsolidasinya kekuatan gereja Roma lebih dari “debat teologis dan spekulasi filosofis”. Selanjutnya La Piana menyimpulkan bahwa “adalah dibawah pengendalian Victor sehingga proses ekspansi pengaruh Roma mulai mengambil bentuknya yang jelas dan juga mulai bangkitnya sebuah tradisi yang akan memainkan peranan penting dalam sejarah Kekristenan”. Bukti bukti sejarah yang diambil secara sampling diatas adalah indikasi bahwa pada abad kedua gereja Roma telah menikmati kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi sebagian besar Kekristenan untuk menerima kebiasaan kebiasaan baru seperti Paskah hari Minggu dan hari Minggu mingguan. Alasan dibalik penerimaan hari hari perayaan baru ini adalah, di satu pihak, kebijakan anti Yahudi yang dijalankan secara politis, sosial, budaya, dan militer yang mempercepat kalangan Kristen untuk memutuskan hubungan dengan Yahudi, dan di lain pihak, konflik yang sudah ada diantara orang Yahudi dan orang Kristen.
Gereja Roma, yang para anggotanya sudah lebih dahulu memutuskan hubungan dengan orang Yahudi dibanding anggota gereja di bagian timur, dan yang gerejanya memiliki kekuasaan yang diketahui luas, memainkan peran yang penting dalam memperkenalkan pemeliharaan hari Minggu dan Paskah hari Minggu. Hari hari raya ini kelihatannya pertama kali diperkenalkan pada awal abad ke dua, pada saat peraturan anti Yahudi yang keras dari Hadrian (sekitar thn 135) menyebabkan orang orang Kristen membedakan diri mereka dari orang Yahudi dengan meninggalkan perayaan perayaan khas Yahudi seperti Paskah dan hari Sabat. Untuk menjauhkan orang Kristen dari pemeliharaan hari Sabat kami menemukan bahwa gereja Roma menggunakan cara cara teologis dan praktis. Hari Sabat diartikan kembali sebagai institusi mosaic (kuno) yang diwajibkan bagi orang Yahudi sebagai tandai kemurtadan mereka, dan orang Kristen dianjurkan berpuasa dan menghindar dari perkumpulan keagamaan pada hari Sabat untuk menunjukkan jarak mereka dengan orang Yahudi.
Kebaktian Menyembah Matahari dan Asal usul Pemeliharaan hari Minggu.
Kondisi kondisi sosial, politik, dan keagamaan yang telah dibahas diatas menerangkan mengapa sebuah hari kebaktian baru telah menggantikan hari Sabat, tetapi pembahasan itu tidak menerangkan mengapa hari Minggu telah dipilih, bukannya hari lain, misalnya hari Jumat, dimana Yesus disalibkan. Pembauran antara pemujaan hari Minggu dan perubahan yang terjadi pada Hari Matahari, dari hari yang menempati posisi ke dua meningkat ke posisi pertama akan menyediakan jawaban yang memuaskan.
Penyebaran Pemujaan Matahari.
Penyelidikan penyelidikan yang baru baru ini dilakukan telah menemukan bahwa “dari awal abad ke dua penyembahan matahari telah dominan di Roma dan bagian bagian lain dari kekaisaran Roma”. Sampai pada akhir abad ke satu, orang orang Roma menyembah matahari – Sol Indiges – nama yang tertera pada beberapa karangan Roma kuno. Tetapi pada abad kedua para penyembah matahari dari timur “Sol invictus – matahari yang tak kelihatan” masuk ke Roma dalam dua mode : pertama, secara individu melalui Sol Invictus Mithra dan secara umum melalui Sol Invictus Elagabal.
Tertullian melaporkan bahwa pada jamannya (150-230) Circus Maximus di Roma difocuskan pada Matahari, yang kuilnya berada di tengah tengah kota, dan yang simbolnya ditempatkan pada puncak kuil, karena orang orang itu berpikir bahwa penyembahan harus dilakukan bukan dibawah atap, tetapi diluar, untuk lebih mencocokkan dengan matahari. Kaisar Hadrian (117 –138 ) mengidentifikasi dirinya dengan matahari dalam mata uang logamnya dan mendedikasikan Colossus Neronus hanya untuk matahari. Colossus Neronus ini dibangun oleh Kaisar Nero yang menggambarkan dirinya sebagai tuhan matahari dengan tujuh gelombang cahaya disekitar kepalanya. Belakangan Hadrian menghapus citra Nero dari bangunan yang besar itu.
Berbagai faktor mendorong penyebaran pemujaan matahari. Salah satunya yang terpenting adalah identifikasi dan penyembahan kaisar sebagai tuhan matahari, yang didukung oleh teologi timur mengenai raja matahari, dan oleh pertimbangan politik. Tentara tentara Roma yang mempunyai kontak dengan Sol Invictus Elagabal dan Mithraism dari Timur, juga berfungsi sebagai penganjur pemujaan matahari di dunia bagian barat. Faktor penting lainnya adalah suasana sindikat pada masa itu.
Marcel Simon dalam suatu studi perseptivnya menunjukkan bagaimana dewa utama dihubungkan dengan ketuhanan matahari. Contoh yang sangat tepat mengenai proses asimilasi adalah dua karangan yang diukir pada sebuah tiang dari mithraeum untuk thermae di Caracalla (211-217). Karangan yang pertama menerangkan bahwa “Dewa dewa utama seperti Zeus, Serapis, Helios (dewa allah), master yang tidak kelihatan dari alam semesta). Setelah kematian Caracalla, yang merupakan pendukung dewa dewa Mesir, nama Serapis dicabut dan digantikan oleh nama Mithra. Karangan kedua berisi pemujaan kepada Zeus, Helios, Serapis yang Besar, Penyelamat, yang memberikan kekayaan, yang dengan sabar mendengar, Mithra yang tidak kelihatan”. Patut dicatat bahwa Mithra tidak hanya dihubungkan dengan Serapis, Helius, dan Zeus, tetapi juga disebut sebut terakhir kali sebagai penyatuan dari dewa dewa ini. Marcel Simon menerangkan bahwa dewa matahari (Helios) adalah “unsur sentral dan penting yang menghubungkan dewa dewa yang berbeda beda”.
Penyebaran dan kepopuleran pemujaan matahari ini menyebabkan perubahan yang besar dalam urutan hari hari dalam pekan. Pekan tujuh hari pertama kali diperkenalkan oleh kerajaan Roma pada abad pertama. Pada saat itu nama nama hari diambil dari nama planet. Hari Saturnus (Saturday) mula mula adalah hari pertama dalam pekan dan Hari Matahari (Minggu) mula mula adalah hari kedua. Dibawah pengaruh pemujaan matahari, perubahan terjadi pada abad kedua. Hari matahari berubah menjadi hari pertama, dan setiap hari lain juga maju selangkah sehingga Saturday mundur kebelakang menjadi hari ketujuh. Sulit untuk menentukan waktu yang tepat kapan hari Saturn (Saturday) bertukar tempat dengan hari matahari (Sunday). Ahli astrologi terkenal Vettius Valens menyebutkan bahwa perubahan ini terjadi, atau paling sedikit sedang terjadi, pada pertengahan abad kedua.
Dalam tulisannya berjudul Antologi yang ditulis sekitar tahun 154 dan 174, Vettius dengan eksplisit menyatakan “Dan inilah urutan bintang bintang planet dalam hubungannya dengan hari hari dalam pekan: Matahari, Bulan, Mars, Mercury, Jupiter, Venus, dan Saturn” Urutan yang sama terdapat pada sebuah tablet yang ditemukan tahun 1633 di Wettingen dekat Baden, bersama dengan uang logam (coin) yang bertanggal pada saat Hadrian berkuasa sampai Constantine II (mati tahun 340). Informasi tambahan sehubungan dengan tempat tempat yang didominasi pemujaan matahari yang menyebutkan urutan urutan hari disediakan oleh pernyataan dari Justin Martyr dan Tertullian, dan beberapa Mithraea, seperti dua undang undang yang dibuat oleh Constantine (3 Maret dan 3 July, 321).
Karena adanya hari matahari yang menyaingi hari Saturnus (Saturday) yang terjadi pada awal abad kedua itu adalah sejalan dengan penerapan pemeliharaan hari Minggu oleh orang orang Kristen menggantikan hari Sabat, sebuah pertanyaan timbul: Apakah peningkatan posisi hari matahari menjadi hari pertama dalam pekan mungkin mempengaruhi orang Kristen yang ingin membedakan diri mereka dari hari Sabatnya orang Yahudi, dengan memelihara hari yang sama ini untuk kebaktian mingguan? Ada beberapa indikasi yang menyokong dugaan ini. Secara tidak langsung, dukungan ada dari pimpinan agama terhadap pemujaan orang Kristen terhadap matahari, dengan mengadopsi lambang matahari dari literatur Kristen untuk melambangkan Kristus. Juga dengan adanya perubahan orientasi doa dari Jerusalem ke Timur, dan dengan penetapan hari Natal yang berasal dari pesta kafir. Indikasi yang lebih jelas ialah seringnya lambang matahari digunakan untuk mensahkan pemeliharaan hari Minggu.
Justin Martyr (sekitar thn 100-165) menekankan supaya orang Kristen berkumpul “pada hari Matahari…karena inilah hari pertama ketika Allah, merubah kegelapan dan ketiadaan, menciptakan dunia”. Hubungan yang dibuat Justin diantara hari Matahari dan penciptaan terang pada hari pertama bukanlah kebetulan, karena beberapa pemimpin agama yang kemudian menyatakan hubungan yang sama. Eusebius (sekitar thn 260-340), contohnya, beberapa kali merujuk terang terangan kepada motif dari terang dan hari Matahari untuk mensahkan kebaktian hari Minggu.
Pada komentar Eusebius atas kitab Mazmur, dia menulis: “Pada hari yang terang ini, hari pertama dan hari sesungguhnya dari matahari, bilamana kita berkumpul setelah enam hari bekerja, kita merayakan hari Sabat yang suci …kenyataannya, pada hari pertama penciptaan dunia inilah Allah mengatakan: “Jadilah terang and terangpun jadilah. Pada hari ini jugalah Matahari Keadilan telah naik untuk jiwa kita”. Hal ini dan tulisan tulisan yang sejenis menunjukkan bahwa pilihan hari Minggu dimotivasi oleh waktu yang tepat dan lambang yang efektif yang hari Minggu telah sediakan untuk memperingati dua kejadian penting dalam sejarah keselamatan: penciptaan dan kebangkitan. Jerome (sekitar thn 342-420) menyebutkan dua alasan ini dengan jelas : Hari yang disebut sebagai hari Matahari oleh orang kafir, kita akan mengakuinya, karena pada hari ini terang dunia telah muncul dan pada hari ini juga Matahari Keadilan telah terbit”.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari investigasi kami adalah bahwa penetapan pemeliharaan hari Minggu menggantikan hari Sabat telah terjadi, bukan di Gereja Jerusalem oleh otoritas kerasulan untuk memperingati kebangkitan Yesus, tetapi telah terjadi di gereja Roma selama awal abad ke dua, didukung oleh hal hal eksternal. Intrik politik, sosial, agama kafir, dan faktor Kristen – sama dengan masalah tanggal 25 Desember sebagai hari lahirnya Kristus – mendorong dipeliharanya hari Minggu sebagai hari kebaktian yang baru.
Adanya fakta bahwa pemeliharaan hari Minggu berdasar pada kriteria yang meragukan dan bukan merupakan perintah Alkitab menyebabkan kesulitan yang besar dialami oleh para pemimpin agama untuk menjelaskan alasan teologis yang kuat yang tidak dapat dibantah demi menganjurkan pemeliharaan hari Suci Allah dengan baik. Kalau begitu, apa yang dapat dilakukan untuk mendidik dan memotivasi orang Kristen untuk memelihara hari Suci Allah bukan hanya datang di gereja pada jam kebaktian tetapi sebagai hari yang utuh untuk beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani? Proposal dari studi kami adalah untuk memimpin manusia menemukan kembali dan mengalami arti, fungsi, dan berkat berkat dari hari Sabat Alkitabiah: hari yang diciptakan bukan untuk jam kebaktian saja untuk menunjukkan perbedaan atau penghinaan terhadap orang lain, tetapi sebagai pilihan Khalik yang jelas untuk 24 jam sehari penuh beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani keperluan orang orang yang kekurangan.
Studi kami telah menemukan bahwa perhatian utama hari Sabat untuk orang orang percaya adalah untuk berhenti dari pekerjaan harian supaya dapat beristirahat dalam Tuhan. Dengan membebaskan diri kita dari pekerjaan mencari nafkah setiap hari, hari Sabat membebaskan kita dan kita menyediakan diri untuk Tuhan, untuk diri kita sendiri, dan untuk orang lain, sehingga menyanggupkan kita mengalami kehadiran Khalik dan persekutuan dengan sesama manusia. Perbedaan hari Sabat dan hari Minggu bukanlah hanya perbedaan nama dan nomor, tetapi adalah perbedaan otoritas, arti, dan pengalaman. Hal ini adalah perbedaan diantara hari libur ciptaan manusia dan hari Suci yang ditetapkan oleh Allah. Perbedaan diantara sebuah hari yang dihabiskan untuk memuaskan diri sendiri dan sebuah hari yang disediakan untuk melayani Allah dan manusia. Ini adalah perbedaan diantara pengalaman sebuah hari tanpa istirahat dan sebuah hari Istirahat Khalik untuk Manusia yang tidak mempunyai istirahat .
Tamat.
(Divine Rest for Human Restlessness). Catatan penerjemah: Ringkasan disertasi ini adalah lampiran dari buku yang berjudul Sabbath, Divine Rest for Human Restlessness.
Sabat Atau Minggu ?
S A B A T A T A U M I N G G U
• Usaha Untuk Merusak Pemerintahan Allah
• Bagaimanakah Dengan Hari Minggu?
• Merongrong Gereja Allah Yang Benar
• Pengakuan Tentang Perubahan Hari Sabat
• Panggilan Allah Supaya Kembali Kepada Sabat
Pendahuluan :
Salah satu masalah dalam kehidupan manusia yang berbakti kepada Allah, yaitu bahwa sementara mereka yakin ada satu hari perbaktian, sebagai satu hari yang suci, tetapi oleh karena perubahan-perubahan masa dan situasi maka mereka tidak lagi menghiraukan hari itu.
Ada orang berpendapat bahwa tidaklah penting memelihara satu hari tertentu sebagai hari suci, karena mereka beranggapan tiap hari itu sama adanya. Ada lagi yang menyatakan bahwa manusia dapat menyucikan tiap hari atau menurut hari yang disukainya.
Dalam pelajaran terdahulu, kita telah ketahui dengan pasti bahwa hari yang disucikan menurut perintah Allah sebagai hari kebaktian bagi umat-Nya telah ditentukan yaitu "hari yang ketujuh", hari Sabtu dan bukan hari yang lain, atau pun hari Minggu yang kini dihormati oleh kebanyakan orang Kristen.
Jika demikian mengapakah bagian terbesar orang berbakti pada hari Minggu dan bukan pada hari Sabat, hari yang ketujuh ? Bagaimanakah perubahan itu terjadi ?
1. USAHA UNTUK MERUSAK PEMERINTAHAN ALLAH Dari mula pertama Setan dengan segala kekuatannya telah berusaha untuk meruntuhkan pemerintahan Allah. Sasaran utama dalam melancarkan kejahatannya itu ialah menghancurkan 10 Hukum Allah yang menjadi dasar pemerintahan Allah sebagai tugu-tugu kebenaran moral. Hari Sabat, yang tercantum dalam hukum keempat, sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, Khalik yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya menjadi pula tujuan serangan Setan yang terutama.
Mengenai serangan ini telah dinubuatkan dengan jelas dalam Kitab Suci :
"Ia akan mengucapkan perkataa yang menentang Yang Mahatinggi, dan akan menganiaya orang-orang kudus milik yang Mahatinggi, ia berusaha untuk mengubah waktu dan Hukum, dan mereka akan diserahkan ke dalam tangannya selama satu masa dan dua masa dan setengah masa." Daniel 7:25.
Jelas di sini bahwa sadar atau tidak sadar, manusia akan bekerja sama dengan rencana Setan ini untuk "mengubahkan segala waktu dan Hukum". Apabila manusia di dunia ini berhasil dipengaruhi untuk tidak menyucikan hari Sabat, atau mengalihkan perhatian kepada hari yang lain, maka hal itu berati suatu kemenangan pihak Setan, karena manusia tidak lagi merayakan hari Sabat yaitu hari ketujuh yang menjadi tanda peringatan bahwa Allah Yang Maha Kuasa adalah Khalik semesta alam. Adalah tujuan Setan pula agar manusia tidak mengakui Allah sebagai pencipta dunia ini, karena Setan sejak terjadi pemberontakannya yang gagal di surga, mempunyai niat untuk merampas kekuasaan Allah. "Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu, Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi." Yesaya 14:13,14.
2. BAGAIMANAKAH DENGAN HARI MINGGU ?
Jika demikian kita bertanya, mengapakah hari Minggu dijadikan hari kebaktian oleh mayoritas umat Kristen ? Juga diakui oleh banyak negara di dunia bahwa hari Minggu bukan sebagai hari kerja resmi ? Adakah alasan hari Kitab Suci yang mengatakan bahwa hari Minggu telah menggantikan hari Sabtu, yaitu hari Sabat, hari yang ketujuh?
Dalam seluruh Kitab Suci, tidak terdapat satu ayat pun yang mengatakan bahwa hari Minggu sebagai hari yang menggantikan Sabat. Alasan yang dikemukakan orang ialah dari pada tafsiran mereka sendiri, yaitu karena hari kebangkitan Yesus Kristus, yang mana alasan itu tudak mempunyai dasar Kitab Suci ! Hanya ada delapan ayat di dalam Kitab Suci. Perjanjian Baru, yang menyebut tentang hari pertama yaitu Minggu, tetapi tidak ada satu pun dari ayat-ayat ini yang menyatakan bahwa hari Minggu sebagai hari yang harus disucikan sebagai hari Sabat dalam hukum keempat dari 10 Hukum Allah.
Sejarah gereja dengan jelas menyatakan bahwa sari Sabat telah dipelihara dan dirayakan oleh umat Kristen beberapa abad lamanya setelah Yesus Kristus diangkat ke surga. Menurut dugaan rupanya pada pertengahan abad kedua, mulai timbul suatu perayaan yang dikenal sebagai "festival kebangkitan" yang dilakukan pada hari pertama yaitu hari Minggu.
Di samping itu, memang ada kebiasaan pula di kalangan orang ketika sebelum menjadi Kristen merayakan hari-hari tertentu untuk penyembahan dewa-dewa di antaranya dewa matahari. Sebagaimana kita ketahui nama hari sepanjang minggu itu berasal dari nama dewa-dewa, dan hari Minggu itu adalah berasal dari nama dewa matahari, (Sun-day).
Kepada bangsa Israel dulu kala, Allah telah melarang mereka untuk melakukan penyembahan matahari. "Dan juga supaya jangan engkau mengarahkan matamu ke langit, sehingga apabila engkau melihat matahari, bulan dan bintang, segenap tentara langit, engkau disesatkan untuk sujud menyembah dan beribadah kepada sekaliannya itu, yang justru diberikan TUHAN, Allahmu, kepada segala bangsa di seluruh kolong langit sebagai bagian mereka." "Dan yang pergi beribadah kepada Allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah kularang itu." Ulangan 4:19,17:3.
Sejarah menyatakan lebih lanjut bahwa baru pada tahun 321 M, dikeluarkan satu perintah oleh Kaisar Roma Konstantine, supaya di seluruh kerajaan Roma hari Minggu harus dirayakan sebagai hari raya nasional. Semua kantor-kantor harus ditutup. Dengan dekret ini, Konstantine menyatakan bahwa perayaan hari Minggu itu adalah menghormati "matahari" dengan latar belakang pengertian bahwa hari Minggu itu adalah hari raya penyembahan dewa Matahari yang biasa dilakukan orang pada waktu itu. Bacalah penjelasan ini dalam buku-buku Ensiklopedia dan buku-buku sejarah.
Pada tahun 364 M, tatkala diadakan konsili di Laodikia, gereja telah mengambil keputusan bahwa hari Sabat hari diganti dengan hari Minggu. Mulai waktu itu terjadilah suatu kerja-sama antara gereja dan pemerintahan dalam hal penetapan hari Minggu dengan alasan untuk merayakan hari kebangkitan Kristus, dan meninggalkan hari Sabat hukum keempat dari 10 Hukum Allah.
Walaupun sudah menjadi keputusan konsili dan diperkuat oleh peraturan pemerintah waktu itu, masih banyak juga orang yang tidak mau melaksanakan penyucian hari Minggu itu, melainkan tetap menyucikan hari Sabat. Dikatakan pulah bahwa mulailah timbul tekanan-tekanan dari pihak gereja dan pemerintah, sehingga mereka yang menyucikan Sabat mulai ikut merayakan hari Minggu yaitu merayakan dua hari itu, tetapi lama-kelamaan hari Sabat pun ditinggalkan pula. Apalagi dalam zaman kita ini banyak orang tidak mempedulikan lagi tentang kebenaran Sabat. Jika saudara bicarakan hal hari Sabat kepada seseorang mungkin ia akan menjawab, "Ah, sama saja
Mereka tidak menyadari bahwa tujuan utama menyucikan Sabat, sesuai dengan maksud Allah adalah tanda menyembah Allah Khalik yang telah menciptakan semesta alam. Lebih jauh lagi mereka tidak menyadari pula bahwa dengan merayakan hari Minggu, berarti mereka sedang mengikuti peraturan manusia !
Kepada mereka itu, sama dengan kepada orang Farisi dan Yahudi di zaman dulu, Yesus berkata : "Tetapi jawab Yesus kepada mereka : "Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu ? Hai orang-orang munafik ! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu : Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." Matius 15:3, 7-9.
3. MERONGRONG GEREJA ALLAH YANG BENAR
Tetapi saudara bertanya, "Bagaimanakah sehingga gereja dapat mengubahkan hukum Allah itu ? Kalau gereja yang berbuat demikian bukankah gereja itu telah melakukan suatu kesalahan ?" atau "Bukankah mayoritas manusia melaksanakan perayaan hari Minggu dan bukan hari Sabtu ? Apakah mayoritas itu salah ?
Disinilah letak kebijaksanaan untuk mentaati kebenaran ! Firman Allah itulah kebenaran adanya. Jika ternyata mayoritas tidak mengikuti firman Allah maka mayoritas itu tidak dapat dibenarkan karena ada tersurat :
"Carilah pengajaran dan kesaksian !" Siapa yang tidak berbicara sesuai dengan perkataan itu, maka baginya tidak terbit fajar." Yesaya 8:20.
Kita tidak perlu heran jika ada pemimpin-pemimpin gereja pun atau kekuasaan gereja melaksanakan tindakan-tindakan pengubahan peraturan-peraturan Allah dalam Kitab Suci, karena peristiwa serupa itu sering terjadi pada zaman dulu sehingga Allah harus membuka kedok imam-imam itu, dengan firman sebagai berikut : "Imam-imamnya memperkosa Hukum Taurat-Ku dan menajiskan hal-hal yang kudus bagi-Ku, mereka tidak membedakan antara yang kudus dengan yang tidak kudus, tidak mengajarkan perbedaan yang najis dengan yang tahir, mereka menutup mata terhadap hari-hari Sabat-Ku. Demikianlah Aku dinajiskan di tengah-tengah mereka." Yehezkiel 22:26.
Bukan sampai disitu saja, tetapi telah dinubuatkan pula, bahwa tindakan lebih jauh akan dilakukan pula yaitu menyerang dan menganiaya umat Allah yang memelihara hokum Allah. "Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu, lalu pergi memerangi keturunannya yang lain, yang menuruti Hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus." Wahyu 12:17.
Sejarah menjelaskan tentang satu masa yang disebut "Abad kegelapan" yang berlangsung selama 1260 tahun di mana umat Allah telah dianiaya dan banyak yang mati dibunuh karena mempertahankan kebenaran dan Hukum Allah. Hal ini telah dinyatakan di dalam nubuatan : "Dan mereka mengalahkan dia oleh darah Anak Domba, dan oleh perkataan kesaksian mereka. Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut." Wahyu 12:11.
Setelah berakhir masa "Abad kegelapan" itu timbullah reformasi. Banyak orang mulai menyelidiki Kitab Suci lagi, dan reformis-reformis gereja, mulai meninggikan kebenaran Kitab Suci dan Hukum-hukum Allah dipelajari. Lambat laun kebenaran tentang hari Sabat ditinggalkan pula terutama pada akhir zaman ini.
4. PENGAKUAN TENTANG PERUBAHAN HARI SABAT
Untuk dapat diketahui dengan lebih jelas tentang proses dilakukannya perubahan hari Sabat kepada hari Minggu, kita perhatikan beberapa pengakuan yang dikemukakan dalam tulisan-tulisan sebagai berikut :
"Memang pernah ada dan tetap ada hukum untuk menyucikan hari Sabat, tetapi hari Sabat itu bukanlah hari Minggu....
Dikatakan bahwa oleh karena beberapa tanda kemenangan, maka Sabat itu telah dipindahkan dari hari ketujuh kepada hari yang pertama. Di manakah kita bisa mendapat catatan tentang transaksi pemindahan ini ? Tidak ada di dalam Perjanjian Baru - sama sekali tidak. Tidak ada bukti Kitab Suci tentang perubahan lembaga Sabat itu dari yang ketujuh kepada yang pertama dalam Minggu." - Dr. Edward T. Hiscox, The Baptist Manual, November 13, 1893.
"Dimanakah di dalam Alkitab yang menyatakan bahwa kita harus menyucikan hari pertama ? Kepada kita diperintahkan supaya menyucikan hari ketujuh; tetapi kita tidak diperintahkan menyucikan hari pertama...Sebabnya mengapa kita menyucikan hari pertama dalam minggu sebagai hari suci dan bukan hari ketujuh ialah karena alasan yang sama dengan perayaan-perayaan lain yang kita lakukan, bukan karena ada di dalam Kitab Suci, tetapi karena kesukaan gereja itu sendiri." - Isaac Williams D.D., Gereja Inggris,"Plain Sermons on the Cathecism."
"Tanya : Hari manakah Sabat itu ?
Jawab : Sabtu adalah hari Sabat.
"Tanya : Mengapa kita merayakan Minggu dan bukan Sabtu ?
Jawab : Kita merayakan hari Minggu gantinya hari Sabtu sebab Gereja Katolik, dalam konsili di Laodikia (A.D. 336) telah memindahkan penyucian hari Sabtu kepada hari Minggu." Rev. Pieter Geirman, The Convert's Catechism of Catholic Doctrine.
"Anda boleh membaca Kitab Suci dari Kejadian sampai Wahyu, dan Anda tidak akan menemukan satu barispun yang memberikan perintah untuk menyucikan hari Minggu. Kitab Suci menguatkan perbaktian keagamaan pada hari Sabtu, yaitu satu hari yang kamu (umat Katolik) tidak pernah menyucikannya." - Cardinal James Gibbons, Kardinal Gereja Roma Katolik, The Faith of Our Fathers.
5. PANGGILAN ALLAH SUPAYA KEMBALI KEPADA SABAT
Kitab Suci menyatakan bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia terus-menerus menginjak-injak hukum Allah dan Hukum hari Sabat-Nya. Allah telah mengatakan hukuman terhadap mereka yang tidak menghiraukan penyucian hari yang ketujuh itu sebagaimana yang tertulis dalam ayat berikut :
"Dan seorang malaikat lain, malaikat ketiga, menyusul mereka, dan berkata dengan suara nyaring : 'Jika seorang menyembah binatang dan patungnya itu, dan menerima tanda pada dahinya atau pada tangannya, maka ia akan minum dari anggur murka Allah, yang disediakan tanpa campuran dalam cawan murka-Nya, dan ia akan disiksa dengan api dan belerang di depan mata malaikat-malaikat kudus dan di depan mata Anak Domba. Maka asap api yang menyiksa mereka itu naik ke atas sampai selama-lamanya, dan siang malam mereka tidak henti-hentinya disiksa, yaitu mereka yang menyembah binatang serta patungnya itu, dan barangsiapa yang telah menerima tanda namanya. Yang penting di sini ialah ketekunan orang-orang kudus, yang menuruti perintah Allah dan imana kepada Yesus." Wahyu 14:9-12.
Dalam zaman kita ini seruan Allah sedang ditujukan kepada kita agar kita kembali kepada Allah, oleh menurut hukum-hukum-Nya dan berbakti pada hari Sabat, yaitu hari yang telah disucikan Allah sebagai tanda bahwa Allah adalah Khalik yang telah menciptakan semesta alam sekalian. Seruan itu dinyatakan dengan nyaring dan dengan beberapa perjanjian kepada mereka yang mendengar panggilan-Nya dan menurut perintah-Nya, "Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan ! - Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka dan kepada kaum keturunan Yakub dosa mereka !.... Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudus-Ku, apabila engkau menyebutkan hari Sabat "hari kenikmatan", dan hari kudus TUHAN "hari yang mulia", apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong-kosong, maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN....." Yesaya 58:1-14.
Maukah saudara mendengar panggilan Allah untuk kembali kepada penuntun yang benar yaitu menyucikan hari Sabat-Nya ? Maukah saudara mentaati firman Allah dan menerima berkat yang limpah dalam hidup saudara yang Allah telah sediakan ?
• Usaha Untuk Merusak Pemerintahan Allah
• Bagaimanakah Dengan Hari Minggu?
• Merongrong Gereja Allah Yang Benar
• Pengakuan Tentang Perubahan Hari Sabat
• Panggilan Allah Supaya Kembali Kepada Sabat
Pendahuluan :
Salah satu masalah dalam kehidupan manusia yang berbakti kepada Allah, yaitu bahwa sementara mereka yakin ada satu hari perbaktian, sebagai satu hari yang suci, tetapi oleh karena perubahan-perubahan masa dan situasi maka mereka tidak lagi menghiraukan hari itu.
Ada orang berpendapat bahwa tidaklah penting memelihara satu hari tertentu sebagai hari suci, karena mereka beranggapan tiap hari itu sama adanya. Ada lagi yang menyatakan bahwa manusia dapat menyucikan tiap hari atau menurut hari yang disukainya.
Dalam pelajaran terdahulu, kita telah ketahui dengan pasti bahwa hari yang disucikan menurut perintah Allah sebagai hari kebaktian bagi umat-Nya telah ditentukan yaitu "hari yang ketujuh", hari Sabtu dan bukan hari yang lain, atau pun hari Minggu yang kini dihormati oleh kebanyakan orang Kristen.
Jika demikian mengapakah bagian terbesar orang berbakti pada hari Minggu dan bukan pada hari Sabat, hari yang ketujuh ? Bagaimanakah perubahan itu terjadi ?
1. USAHA UNTUK MERUSAK PEMERINTAHAN ALLAH Dari mula pertama Setan dengan segala kekuatannya telah berusaha untuk meruntuhkan pemerintahan Allah. Sasaran utama dalam melancarkan kejahatannya itu ialah menghancurkan 10 Hukum Allah yang menjadi dasar pemerintahan Allah sebagai tugu-tugu kebenaran moral. Hari Sabat, yang tercantum dalam hukum keempat, sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, Khalik yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya menjadi pula tujuan serangan Setan yang terutama.
Mengenai serangan ini telah dinubuatkan dengan jelas dalam Kitab Suci :
"Ia akan mengucapkan perkataa yang menentang Yang Mahatinggi, dan akan menganiaya orang-orang kudus milik yang Mahatinggi, ia berusaha untuk mengubah waktu dan Hukum, dan mereka akan diserahkan ke dalam tangannya selama satu masa dan dua masa dan setengah masa." Daniel 7:25.
Jelas di sini bahwa sadar atau tidak sadar, manusia akan bekerja sama dengan rencana Setan ini untuk "mengubahkan segala waktu dan Hukum". Apabila manusia di dunia ini berhasil dipengaruhi untuk tidak menyucikan hari Sabat, atau mengalihkan perhatian kepada hari yang lain, maka hal itu berati suatu kemenangan pihak Setan, karena manusia tidak lagi merayakan hari Sabat yaitu hari ketujuh yang menjadi tanda peringatan bahwa Allah Yang Maha Kuasa adalah Khalik semesta alam. Adalah tujuan Setan pula agar manusia tidak mengakui Allah sebagai pencipta dunia ini, karena Setan sejak terjadi pemberontakannya yang gagal di surga, mempunyai niat untuk merampas kekuasaan Allah. "Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu, Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi." Yesaya 14:13,14.
2. BAGAIMANAKAH DENGAN HARI MINGGU ?
Jika demikian kita bertanya, mengapakah hari Minggu dijadikan hari kebaktian oleh mayoritas umat Kristen ? Juga diakui oleh banyak negara di dunia bahwa hari Minggu bukan sebagai hari kerja resmi ? Adakah alasan hari Kitab Suci yang mengatakan bahwa hari Minggu telah menggantikan hari Sabtu, yaitu hari Sabat, hari yang ketujuh?
Dalam seluruh Kitab Suci, tidak terdapat satu ayat pun yang mengatakan bahwa hari Minggu sebagai hari yang menggantikan Sabat. Alasan yang dikemukakan orang ialah dari pada tafsiran mereka sendiri, yaitu karena hari kebangkitan Yesus Kristus, yang mana alasan itu tudak mempunyai dasar Kitab Suci ! Hanya ada delapan ayat di dalam Kitab Suci. Perjanjian Baru, yang menyebut tentang hari pertama yaitu Minggu, tetapi tidak ada satu pun dari ayat-ayat ini yang menyatakan bahwa hari Minggu sebagai hari yang harus disucikan sebagai hari Sabat dalam hukum keempat dari 10 Hukum Allah.
Sejarah gereja dengan jelas menyatakan bahwa sari Sabat telah dipelihara dan dirayakan oleh umat Kristen beberapa abad lamanya setelah Yesus Kristus diangkat ke surga. Menurut dugaan rupanya pada pertengahan abad kedua, mulai timbul suatu perayaan yang dikenal sebagai "festival kebangkitan" yang dilakukan pada hari pertama yaitu hari Minggu.
Di samping itu, memang ada kebiasaan pula di kalangan orang ketika sebelum menjadi Kristen merayakan hari-hari tertentu untuk penyembahan dewa-dewa di antaranya dewa matahari. Sebagaimana kita ketahui nama hari sepanjang minggu itu berasal dari nama dewa-dewa, dan hari Minggu itu adalah berasal dari nama dewa matahari, (Sun-day).
Kepada bangsa Israel dulu kala, Allah telah melarang mereka untuk melakukan penyembahan matahari. "Dan juga supaya jangan engkau mengarahkan matamu ke langit, sehingga apabila engkau melihat matahari, bulan dan bintang, segenap tentara langit, engkau disesatkan untuk sujud menyembah dan beribadah kepada sekaliannya itu, yang justru diberikan TUHAN, Allahmu, kepada segala bangsa di seluruh kolong langit sebagai bagian mereka." "Dan yang pergi beribadah kepada Allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah kularang itu." Ulangan 4:19,17:3.
Sejarah menyatakan lebih lanjut bahwa baru pada tahun 321 M, dikeluarkan satu perintah oleh Kaisar Roma Konstantine, supaya di seluruh kerajaan Roma hari Minggu harus dirayakan sebagai hari raya nasional. Semua kantor-kantor harus ditutup. Dengan dekret ini, Konstantine menyatakan bahwa perayaan hari Minggu itu adalah menghormati "matahari" dengan latar belakang pengertian bahwa hari Minggu itu adalah hari raya penyembahan dewa Matahari yang biasa dilakukan orang pada waktu itu. Bacalah penjelasan ini dalam buku-buku Ensiklopedia dan buku-buku sejarah.
Pada tahun 364 M, tatkala diadakan konsili di Laodikia, gereja telah mengambil keputusan bahwa hari Sabat hari diganti dengan hari Minggu. Mulai waktu itu terjadilah suatu kerja-sama antara gereja dan pemerintahan dalam hal penetapan hari Minggu dengan alasan untuk merayakan hari kebangkitan Kristus, dan meninggalkan hari Sabat hukum keempat dari 10 Hukum Allah.
Walaupun sudah menjadi keputusan konsili dan diperkuat oleh peraturan pemerintah waktu itu, masih banyak juga orang yang tidak mau melaksanakan penyucian hari Minggu itu, melainkan tetap menyucikan hari Sabat. Dikatakan pulah bahwa mulailah timbul tekanan-tekanan dari pihak gereja dan pemerintah, sehingga mereka yang menyucikan Sabat mulai ikut merayakan hari Minggu yaitu merayakan dua hari itu, tetapi lama-kelamaan hari Sabat pun ditinggalkan pula. Apalagi dalam zaman kita ini banyak orang tidak mempedulikan lagi tentang kebenaran Sabat. Jika saudara bicarakan hal hari Sabat kepada seseorang mungkin ia akan menjawab, "Ah, sama saja
Mereka tidak menyadari bahwa tujuan utama menyucikan Sabat, sesuai dengan maksud Allah adalah tanda menyembah Allah Khalik yang telah menciptakan semesta alam. Lebih jauh lagi mereka tidak menyadari pula bahwa dengan merayakan hari Minggu, berarti mereka sedang mengikuti peraturan manusia !
Kepada mereka itu, sama dengan kepada orang Farisi dan Yahudi di zaman dulu, Yesus berkata : "Tetapi jawab Yesus kepada mereka : "Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu ? Hai orang-orang munafik ! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu : Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." Matius 15:3, 7-9.
3. MERONGRONG GEREJA ALLAH YANG BENAR
Tetapi saudara bertanya, "Bagaimanakah sehingga gereja dapat mengubahkan hukum Allah itu ? Kalau gereja yang berbuat demikian bukankah gereja itu telah melakukan suatu kesalahan ?" atau "Bukankah mayoritas manusia melaksanakan perayaan hari Minggu dan bukan hari Sabtu ? Apakah mayoritas itu salah ?
Disinilah letak kebijaksanaan untuk mentaati kebenaran ! Firman Allah itulah kebenaran adanya. Jika ternyata mayoritas tidak mengikuti firman Allah maka mayoritas itu tidak dapat dibenarkan karena ada tersurat :
"Carilah pengajaran dan kesaksian !" Siapa yang tidak berbicara sesuai dengan perkataan itu, maka baginya tidak terbit fajar." Yesaya 8:20.
Kita tidak perlu heran jika ada pemimpin-pemimpin gereja pun atau kekuasaan gereja melaksanakan tindakan-tindakan pengubahan peraturan-peraturan Allah dalam Kitab Suci, karena peristiwa serupa itu sering terjadi pada zaman dulu sehingga Allah harus membuka kedok imam-imam itu, dengan firman sebagai berikut : "Imam-imamnya memperkosa Hukum Taurat-Ku dan menajiskan hal-hal yang kudus bagi-Ku, mereka tidak membedakan antara yang kudus dengan yang tidak kudus, tidak mengajarkan perbedaan yang najis dengan yang tahir, mereka menutup mata terhadap hari-hari Sabat-Ku. Demikianlah Aku dinajiskan di tengah-tengah mereka." Yehezkiel 22:26.
Bukan sampai disitu saja, tetapi telah dinubuatkan pula, bahwa tindakan lebih jauh akan dilakukan pula yaitu menyerang dan menganiaya umat Allah yang memelihara hokum Allah. "Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu, lalu pergi memerangi keturunannya yang lain, yang menuruti Hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus." Wahyu 12:17.
Sejarah menjelaskan tentang satu masa yang disebut "Abad kegelapan" yang berlangsung selama 1260 tahun di mana umat Allah telah dianiaya dan banyak yang mati dibunuh karena mempertahankan kebenaran dan Hukum Allah. Hal ini telah dinyatakan di dalam nubuatan : "Dan mereka mengalahkan dia oleh darah Anak Domba, dan oleh perkataan kesaksian mereka. Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut." Wahyu 12:11.
Setelah berakhir masa "Abad kegelapan" itu timbullah reformasi. Banyak orang mulai menyelidiki Kitab Suci lagi, dan reformis-reformis gereja, mulai meninggikan kebenaran Kitab Suci dan Hukum-hukum Allah dipelajari. Lambat laun kebenaran tentang hari Sabat ditinggalkan pula terutama pada akhir zaman ini.
4. PENGAKUAN TENTANG PERUBAHAN HARI SABAT
Untuk dapat diketahui dengan lebih jelas tentang proses dilakukannya perubahan hari Sabat kepada hari Minggu, kita perhatikan beberapa pengakuan yang dikemukakan dalam tulisan-tulisan sebagai berikut :
"Memang pernah ada dan tetap ada hukum untuk menyucikan hari Sabat, tetapi hari Sabat itu bukanlah hari Minggu....
Dikatakan bahwa oleh karena beberapa tanda kemenangan, maka Sabat itu telah dipindahkan dari hari ketujuh kepada hari yang pertama. Di manakah kita bisa mendapat catatan tentang transaksi pemindahan ini ? Tidak ada di dalam Perjanjian Baru - sama sekali tidak. Tidak ada bukti Kitab Suci tentang perubahan lembaga Sabat itu dari yang ketujuh kepada yang pertama dalam Minggu." - Dr. Edward T. Hiscox, The Baptist Manual, November 13, 1893.
"Dimanakah di dalam Alkitab yang menyatakan bahwa kita harus menyucikan hari pertama ? Kepada kita diperintahkan supaya menyucikan hari ketujuh; tetapi kita tidak diperintahkan menyucikan hari pertama...Sebabnya mengapa kita menyucikan hari pertama dalam minggu sebagai hari suci dan bukan hari ketujuh ialah karena alasan yang sama dengan perayaan-perayaan lain yang kita lakukan, bukan karena ada di dalam Kitab Suci, tetapi karena kesukaan gereja itu sendiri." - Isaac Williams D.D., Gereja Inggris,"Plain Sermons on the Cathecism."
"Tanya : Hari manakah Sabat itu ?
Jawab : Sabtu adalah hari Sabat.
"Tanya : Mengapa kita merayakan Minggu dan bukan Sabtu ?
Jawab : Kita merayakan hari Minggu gantinya hari Sabtu sebab Gereja Katolik, dalam konsili di Laodikia (A.D. 336) telah memindahkan penyucian hari Sabtu kepada hari Minggu." Rev. Pieter Geirman, The Convert's Catechism of Catholic Doctrine.
"Anda boleh membaca Kitab Suci dari Kejadian sampai Wahyu, dan Anda tidak akan menemukan satu barispun yang memberikan perintah untuk menyucikan hari Minggu. Kitab Suci menguatkan perbaktian keagamaan pada hari Sabtu, yaitu satu hari yang kamu (umat Katolik) tidak pernah menyucikannya." - Cardinal James Gibbons, Kardinal Gereja Roma Katolik, The Faith of Our Fathers.
5. PANGGILAN ALLAH SUPAYA KEMBALI KEPADA SABAT
Kitab Suci menyatakan bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia terus-menerus menginjak-injak hukum Allah dan Hukum hari Sabat-Nya. Allah telah mengatakan hukuman terhadap mereka yang tidak menghiraukan penyucian hari yang ketujuh itu sebagaimana yang tertulis dalam ayat berikut :
"Dan seorang malaikat lain, malaikat ketiga, menyusul mereka, dan berkata dengan suara nyaring : 'Jika seorang menyembah binatang dan patungnya itu, dan menerima tanda pada dahinya atau pada tangannya, maka ia akan minum dari anggur murka Allah, yang disediakan tanpa campuran dalam cawan murka-Nya, dan ia akan disiksa dengan api dan belerang di depan mata malaikat-malaikat kudus dan di depan mata Anak Domba. Maka asap api yang menyiksa mereka itu naik ke atas sampai selama-lamanya, dan siang malam mereka tidak henti-hentinya disiksa, yaitu mereka yang menyembah binatang serta patungnya itu, dan barangsiapa yang telah menerima tanda namanya. Yang penting di sini ialah ketekunan orang-orang kudus, yang menuruti perintah Allah dan imana kepada Yesus." Wahyu 14:9-12.
Dalam zaman kita ini seruan Allah sedang ditujukan kepada kita agar kita kembali kepada Allah, oleh menurut hukum-hukum-Nya dan berbakti pada hari Sabat, yaitu hari yang telah disucikan Allah sebagai tanda bahwa Allah adalah Khalik yang telah menciptakan semesta alam sekalian. Seruan itu dinyatakan dengan nyaring dan dengan beberapa perjanjian kepada mereka yang mendengar panggilan-Nya dan menurut perintah-Nya, "Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan ! - Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka dan kepada kaum keturunan Yakub dosa mereka !.... Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudus-Ku, apabila engkau menyebutkan hari Sabat "hari kenikmatan", dan hari kudus TUHAN "hari yang mulia", apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong-kosong, maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN....." Yesaya 58:1-14.
Maukah saudara mendengar panggilan Allah untuk kembali kepada penuntun yang benar yaitu menyucikan hari Sabat-Nya ? Maukah saudara mentaati firman Allah dan menerima berkat yang limpah dalam hidup saudara yang Allah telah sediakan ?
Rome's Challenge - Why Do Protestants Keep Sunday
Pieces From Rome's Challenge, Four Editorials From The Catholic Mirror
• "In the old testament, reference is made 126 times to The Sabbath, and all these text conspire harmoniously in voicing the will of God commanded the Seventh Day to be kept, because god Himself first kept it, making it obligatory on ALL as 'a perpetual covenant.' Nor can we imagine any one foolhardly enough to question the identity of Saturday with the Sabbath or Seveth Day, seeing that the people of Iserael have been keeping the Saturday from the giving of the Law, A.M. 2514 to A.D. 1893, a period of 3383 years..." [ 1: note the calendar units are different from today's standard; 2: in 1992, it is 3,482 years]
• "Exmaining the new testament from cover to cover, critically, we find the Sabbath referred to 61 times. We find, too, that the Savior invariably selected the Sabbath (Saturday) to teach in the synagogues and work miracles. The 4 Gospels refer to the Sabbath (Saturday) 51 times.."
• "...the Redeemer refers to Himself as 'The Lord of the Sabbath'..." He never once hinted at a desire to change it... thus the Sabbath (Saturday) from Genesis to Revelation.
• "Hence the conclusion is inevitable... that of those who follow the Bible as their guide, the Iseralites and Severth-Day Adventists have the exclusive weight of evidence on their side, whilst the Biblical Protestant Has Not A Word In Self-Defense For His Substitution Of Sunday For Saturday..."
• "...Whilst the pharisees of old kept the True Sabbath, our modern pharisees HAVE NEVER ONCE IN THEIR LIVES KEPT THE TRUE SABBATH which their divine master kept to his dying day, and which his apostles kept, after his example, for 30 years afterward, according to sacred record.."
• "The Bible and the Sabbath constitue the watchword of Protestantism; But We Have Demonstrated That It Is The Bible Against Their Sabbath... We Have Shown That No Greater Contradition Ever Existed That Their Theory Than Their Theory And Practice! We have proved that neither their Biblical ancestors nor themselves have ever kept One Sabbath Day in their lives..."
Now remember, this was from the pen of an extremely knowledgeable Catholic Theologian -- and he told it exactly like it is... Want more? Read on.
• "The Catholic Church for over 1,000 years before the existence of a Protestant, by virtue of her divine mission, changed the day from Saturday to Sunday..."
• "We say by virtue of her divine mission, because he who called himself the 'Lord of The Sabbath' endowed her with his own power to teach, 'He That hearth You, hearth Me'... and promised to be with her to the end of the world. She holds her charter from him -- a charter as INFALLIBLE and PERPETUAL..."
"The Protestant world at its birth Found The Christian Sabbath (Sunday) Too Strongly Entrenched To Run Counter To Its Existence... It was therefore placed under the necessity of ACQUESCING in the arrangement, thus implying the Church's Right To Change The Day, for over 300 years.."
• "The Iseralites And Seventh-Day Adventists Are Witnesses Of This Weekly Desecration of The Day Named By God So Repeatedly..."
• "The history of the world cannot present a more stupid, self-stulifying specimen of dereliction of principle than this... that immense concourse of Bible Christians, the Methodists, have declared that the Sabbath has Never Been Abrogates, whilst the followers of the Church of England, together with her daughter, the Episcopal Church of the United States, are commited by the 20th article of religion that the church CANNOT LAWFULLY ORDAIN ANYTHING, 'Contrary To God's Written Word,' yet God's Written Word enjoins his worship to be observed on Saturday absolutely, repeatedly, and most EMPHATICALLY... all Biblical sects occupy the same self-stultifying position which no explaination can modify, much less justify."
• "They have IGNORED and CONDEMNED their teacher, the Bible... and they have adopted a day kept by the Catholic Church.. the 'Mother of Aboninations'..."
• "...their Pretense for leaving the bosom of the Catholic Church was for Apostasy from the truth As Taught In The Written Word. They adopted the Written Word as their sole teacher, which they had no sooned done than they Abandoned It, as these articles have abundantly proved..."
Shocking, isn't it. Rome's Challenege to all Protestants. By the way, the prophet ISAIAH clealy foretold that the Sabbath would be falsely done away with, but then reestablished...!"
The USA Made A Sunday-Law?!?
In 1893 the United States Congress and the Supreme Court, delcaring our country to be "a Christian Nation," passed the orders that the World's Fair was to be C L O S E D O N S U N D A Y S ...
The Internation Religious Liberty Association of the General Conference Of The Severth-Day Adventist Church published a 21-page brochure which sited the fact that: It Is Improper For Our Government To Legislate Public Behavior In Regard To "Religious" Matters... .. It's called "Separation Of Church And State"
See, if people didn't want to attend the World's Fair on "Sunday," they could stay home! But by passing a Law to Stop All From Attending, that's getting very close to Legislating Religion.
Remember how law works, if you give someone the right to prevent you from doing something you are giving them jurisdiction of that matter. A reversal could come about enforcing you to do something. A good cited example is to create a law to "prevent abortions". While you may or not agree with abortion issues, handing that right to the government also gives them the right in the future to insit that an aborton be had. Our law system isn't perfect.
The Adventists outlines their belief in worshiping the Lord on His Saturday Sabbath Day, via "free will," and the Catholic Mirror wrote their articles to VERIFY that "Saturday" is the Bible Sabbath Day.
The Catholic Mirror was the official organ of Cardinal Gibbons and the Papacy in America. A 32-page pamphlet called Rome's Challenge reprints four editorials back in September 2, 9, 16, and 23 of 1893.
Tradition, What Does Christ Say About It?
"Why do ye also transgress the commendment of God by your TRADITION?" -- Jesus, MATT 15:3
The Jews had enacted a rule that let a person by-pass leaving his possessions to his parents in case of his dying, which ran contrary to the commandment to "honor thy father and thy mother."
"...thus have ye made the commandment of God of NONE EFFECT by your TRADITION" -- Matt 15:6
Clearly, the Lord is NOT pleased with us following the "traditions" of men in place of His commandments.
"But in vain do they worship me, teaching for doctrines the commandments of men," said the Lord in Matthew 15:9. But this is exactly what the Catholic Church has perpetrated. And when Protestants endorse worshipping on "Sundays," they SUPPORT THE ROMAN CHURCH'S "TRADTIONS"...!
Tradition, The Council of Trent, and a Great Debate Lost
It was at the Council of Trent that the Catholic Church formulated its permanent fundamentals of the Catholic Creed -- these series of sessions were held to consider the questions that had been raised and forced upon the attention of Europe by the PROTESTANT REFORMERS: The reformers had charged that the Catholic Church has APOSTATIZED from the truth "as contained in the written word." Thus was the proclaimed platform of the reformation and of protestantism: The Written Word, "The Bible and Only The Bible Only," these were their constant watchwords...
...but the Catcholics insisted on "the scripture and TRADTION," the Bible as INTERPRETED BY THE CHURCH and the reasoning of its "holy fathers," the Popes and Bishops, etc.. of earlier generations...
Incidently, these meetings lasted for over 27 years. The reason for their first recess was due to a plague in Trent, then the Council was frequently adjourned when they could not reach agreement.
There was a strong party even of the Catholics within the council who were in favor of abandoning "tradition" and adopting THE SCRIPTURES ONLY as the standard of authority. The view was so decidedly held in the debates that the Pope's legates actually wrote to him that there was "a strong tendency to set aside tradition altogether and to make scripture the sole standard of appeal." But to do this would manifestly be a big step towards justifying the clains of the protestants...
By this crisis there was develoepd within the ultra-catholic portion of the council the task of convincing the others that "scripture and TRADITION" were the only sure ground to stand upon -- if this could be done, the council could be convinced to issue a decree CONDEMING THE REFORMATION, otherwise not...
The question was debated day adter day, until the council was brought to a standstill. finally, after a long and intensive debate, the ARCHBISHOP OF REGGIO introduced into the council substancially the following argument:
The PROTESTANTS claim to stand upon "the written word only" -- the profess to hold the SCRIPTURE ALONE as the standard point fo faith. The justify their revolt by the plea that the church has apostatized from the written word and follows TRADITION. Now the protestants' claim, that they stand upon the written word only, IS NOT TRUE. Their profession of hodling "the scripture alone as the standard of faith" is FALSE!
THE PROOF: The written word explictly enjoins the observance of the Seventh Day as the Sabbath. They do NOT observe the seventh day, but REJECT IT! If they do truely hold the scriptures alone as their standard, they would be observing the Seventh Day as in enjoined in the scripture throughout! Yet they now only REJECT THE OBSERVANCE OF THE SABBATH ENJOINED IN THE WRITTEN WORD, but they have adopted and do practice the observance of SUNDAY, for which they have ONLY THE TRADITION OF THE CHURCH... Consequently the claim of "scripture alone as the standard" FAILS, and the doctrine of "scripture and TRADITION" as essential, is FULLY ESTABLISHED, THE PROTESTANTS THEMSELVES BEING THE JUDGES!
By the observation the archbishop scored a telling point, for the protestants' OWN STATES OF FAITH (the augsburg confession of 1530) had CLEARLY ADMITTED that "the observation of the Lord's Day" HAD BEEN APPOINTED BY THE CHURCH ONLY.
The arguement was hailed in the council as PURE INSPIRATION -- the party for "scripture alone" SURRENDERED... and the council at once UNANIMOUSLY CONDEMNED PROTESTANTISM and THE WHOLE REFORMATION AS ONLY AN UNWARRANTED REVOLT FROM THE COMMUNION AND AUTHORITY OF THE CATHOLIC CHURCH...
(This information is from the Rome's Challenge pamphlet, pages 25-27.)
Thus it was the INCONSISTENCY of the protestant practice with "protestant profession" that gave to the Catholic Church her long-sought and anxiously desired ground upon which to condemn protestantism and the whole reformation movement... All because the Protestants rejected the Bible's Holy seventh-Day Sabbath.
...so the Catholics won out, and the Protestants failed in winning an important victory for the Lord. "Tradition" was to continue.
Plain Statements
"Is not every Christian obliged to sanctify Sunday and to abstain on that day from unnecessary servile work? Is not the observance of this law among the most prominent of our sacred duties? But you may read the Bible from Genesis to Revelation, and you will not find a single line authorizing the sanctification of Sunday. The Scriptures enforce the religious observance of Saturday, a day which we never sanctify." James Cardinal Gibbons, The Faith of Our Fathers (1917 edition), p. 72-73 (16th Edition, p 111; 88th Edition, p. 89).
"For example, nowhere in the Bible do we find that Christ or the Apostles ordered that the Sabbath be changed from Saturday to Sunday. We have the commandment of God given to Moses to keep holy the Sabbath day, that is the 7th day of the week, Saturday. Today most Christians keep Sunday because it has been revealed to us by the [Roman Catholic] church outside the Bible." Catholic Virginian, October 3, 1947, p. 9, article "To Tell You the Truth."
Who Made Sunday Holy?
"Written by the finger of God on two tables of stone, this Divine code (ten commandments) was received from the Almighty by Moses amid the thunders of Mount Sinai...Christ resumed these Commandments in the double precept of charity--love of God and of the neighbour; He proclaimed them as binding under the New Law in Matthew 19 and in the Sermon on the Mount (Matthew 5)....The (Catholic) Church, on the other hand, after changing the day of rest from the Jewish Sabbath, or seventh day of the week, to the first, made the Third Commandment refer to Sunday as the day to be kept holy as the Lord's Day....He (God) claims one day out of the seven as a memorial to Himself, and this must be kept holy..." The Catholic Encyclopedia, vol. 4, "The Ten Commandments", 1908 edition by Robert Appleton Company; and 1999 On-line edition by Kevin Knight, Imprimatur, John M. Farley, Archbishop of New York.
"Question: How prove you that the church had power to command feasts and holydays?
"Answer: By the very act of changing the Sabbath into Sunday, which Protestants allow of; and therefore they fondly contradict themselves by keeping Sunday strictly, and breaking most other feasts commanded by the same church.
"Question: Have you any other way of proving that the church has power to institute festivals of precept?
"Answer: Had she not such power, she could not a done that in which all modern religionists agree with her; -she could not have substituted the observance of Sunday the first day of the week, for the observance of Saturday the seventh day of the week, a change for which there is no Scriptural authority." Stephen Keenan, A Doctrinal Catechism On the Obedience Due to the Church, 3rd edition, Chapter 2, p. 174 (Imprimatur, John Cardinal McCloskey, Archbishop of New York).
"Perhaps the boldest thing, the most revolutionary change the Church ever did, happened in the first century. The holy day, the Sabbath, was changed from Saturday to Sunday. ‘The day of the Lord’ was chosen, not from any direction noted in the Scriptures, but from the Church's sense of its own power....People who think that the Scriptures should be the sole authority, should logically...keep Saturday holy." St. Catherine Church Sentinel, Algonac, Michigan, May 21, 1995.
"Nowhere in the Bible is it stated that worship should be changed from Saturday to Sunday....Now the Church...instituted, by God's authority, Sunday as the day of worship. This same Church, by the same divine authority, taught the doctrine of Purgatory long before the Bible was made. We have, therefore, the same authority for Purgatory as we have for Sunday." Martin J. Scott, Things Catholics Are Asked About, 1927 edition, p. 136.
"Question - Which is the Sabbath day?
"Answer - Saturday is the Sabbath day.
"Question - Why do we observe Sunday instead of Saturday?
"Answer - We observe Sunday instead of Saturday because the Catholic Church, in the Council of Laodicea (A.D. 364), transferred the solemnity from Saturday to Sunday." Peter Geiermann, C.S.S.R., The Convert's Catechism of Catholic Doctrine, p. 50, 3rd edition, 1957.
"Is Saturday the seventh day according to the Bible and the Ten Commandments? I answer yes. Is Sunday the first day of the week and did the Church change the seventh day - Saturday - for Sunday, the first day? I answer yes. Did Christ change the day'? I answer no!"
"Faithfully yours, J. Card. Gibbons." James Cardinal Gibbons, Archbishop of Baltimore, Md. (1877-1921), in a signed letter.
"Q.- How prove you that the Church hath power to command feasts and holy days?
"A.- By the very act of changing Sabbath into Sunday which Protestants allow of; and therefore they fondly contradict themselves, by keeping Sunday strictly, and breaking most other feasts commanded by the same Church.
"Q.-How prove you that?
"A.-Because by keeping Sunday, they acknowledge the Church's power to ordain feasts, and to command them under sin: and by not keeping the rest by her commanded, they again deny, in fact, the same power." An Abridgment of the Christian Doctrine, composed by Henry Tuberville, p. 58.
"Some theologians have held that God likewise directly determined the Sunday as the day of worship in the New Law, that He Himself has explicitly substituted the Sunday for the Sabbath. But this theory is now entirely abandoned. It is now commonly held that God simply gave His Church the power to set aside whatever day or days she would deem suitable as Holy Days. The Church chose Sunday, the first day of the week, and in the course of time added other days as holy days." John Laux, A Course in Religion for Catholic High Schools and Academies, 1936 edition, vol. 1, p. 51.
"Question. What warrant have you for keeping Sunday preferably to the ancient sabbath which was Saturday?
"Answer. We have for it the authority of the Catholic church and apostolic tradition.
"Question. Does the Scripture anywhere command the Sunday to be kept for the Sabbath?
"Answer. The Scripture commands us to hear the church (St.Matt.18:17; St. Luke 10:16), and to hold fast the traditions of the apostles. 2 Thess 2:15. But the Scripture does not in particular mention this change of the sabbath.
"St John speaks of the Lord's day (Rev 1:10) but he does not tell us what day of the week that was, much less does he tell us what day was to take the place of the Sabbath ordained in the commandments. St.Luke speaks of the disciples meeting together to break bread on the first day of the week. Acts 20:7. And St. paul (1 Cor.16:2) orders that on the first day of the week the Corinthians should lay in store what they designated to bestow in charity on the faithful in Judea: but neither the one or the other tells us that this first day of the week was to be henceforth a day of worship, and the Christian Sabbath; so that truly the best authority we have for this ancient custom is the testimony of the church. And therefore those who pretend to be such religious observers of Sunday, whilst they take no notice of other festivals ordained by the same church authority, show that they act more by humor, than by religion; since Sundays and holidays all stand upon the same foundation, namely the ordinance of the church." Catholic Christian Instructed, 17th edition, p. 272-273.
"Protestantism, in discarding the authority of the (Roman catholic) Church, has no good reasons for its Sunday theory, and ought logically to keep Saturday as the Sabbath." John Gilmary Shea, American Catholic Quarterly Review, January, 1883.
"The Catholic church for over one thousand years before the existence of a Protestant, by virtue of her divine mission, changed the day from Saturday to Sunday....The Protestant World at its birth found the Christian Sabbath too strongly entrenched to run counter to its existence; it was therefore placed under the necessity of acquiescing in the arrangement, thus implying the (Catholic) Church's right to change the day, for over three hundred years. The Christian Sabbath is therefore to this day, the acknowledged offspring of the Catholic Church as spouse of the Holy Ghost, without a word of remonstrance from the Protestant World." James Cardinal Gibbons in the Catholic Mirror, September 23, 1983.
Whose Day of Worship is Sunday?
"They [the Protestants] deem it their duty to keep the Sunday holy. Why? Because the Catholic Church tells them to do so. They have no other reason....The observance of Sunday thus comes to be an ecclesiastical law entirely distinct from the divine law of Sabbath observance....The author of the Sunday law...is the Catholic Church." Ecclesiastical Review, February, 1914.
"The Sunday...is purely a creation of the Catholic Church." American Catholic Quarterly Review, January, 1883.
"Sunday...is the law of the Catholic Church alone..." American Sentinel (Catholic), June, 1893.
"Sunday is a Catholic institution and its claim to observance can be defended only on Catholic principles....From beginning to end of Scripture there is not a single passage that warrants the transfer of weekly public worship from the last day of the week to the first." Catholic Press, Sydney, Australia, August, 1900.
"It is well to remind the Presbyterians, Baptists, Methodists, and all other Christians, that the Bible does not support them anywhere in their observance of Sunday. Sunday is an institution of the Roman Catholic Church, and those who observe the day observe a commandment of the Catholic Church." Priest Brady, in an address reported in The News, Elizabeth, New Jersey, March 18, 1903.
Who Are We Reverencing, Bowing and Paying Homage to
by Keeping Sunday Holy?
"The authority of the church could therefore not be bound to the authority of the Scriptures, because the Church had changed...the Sabbath into Sunday, not by command of Christ, but by its own authority." Canon and Tradition, p. 263.
"From this we may understand how great is the authority of the church in interpreting or explaining to us the commandments of God - an authority which is acknowledged by the universal practice of the whole Christian world, even of those sects which profess to take the holy Scriptures as their sole rule of faith, since they observe as the day of rest not the seventh day of the week demanded by the Bible, but the first day. Which we know is to be kept holy, only from the tradition and teaching of the Catholic church." Henry Gibson, Catechism Made Easy, # 2, 9th edition, vol. 1, p. 341-342.
"It was the Catholic church which...has transferred this rest to Sunday in remembrance of the resurrection of our Lord. Therefore the observance of Sunday by the Protestants is an homage they pay, in spite of themselves, to the authority of the (Catholic) church." Monsignor Louis Segur, Plain Talk About the Protestantism of Today, p. 213.
"Sunday is our mark or authority...the church is above the Bible, and this transference of Sabbath observance is proof of that fact." Catholic Record of London, Ontario, September 1,1923.
"Of course the Catholic Church claims that the change (Saturday Sabbath to Sunday) was her act...And the act is a mark of her ecclesiastical authority in religious things." H.F. Thomas, Chancellor of Cardinal Gibbons.
"I have repeatedly offered $1,000 to anyone who can prove to me from the Bible alone that I am bound to keep Sunday holy. There is no such law in the Bible. It is a law of the holy Catholic Church alone. The Bible says, ‘Remember the Sabbath day to keep it holy.’ The Catholic Church says: ‘No. By my divine power I abolish the Sabbath day and command you to keep holy the first day of the week.’ And lo! The entire civilized world bows down in a reverent obedience to the command of the holy Catholic Church." father T. Enright, C.S.S.R. of the Redemptoral College, Kansas City, in a lecture at Hartford, Kansas, February 18, 1884, printed in History of the Sabbath, p. 802.
"Protestants...accept Sunday rather than Saturday as the day for public worship after the Catholic Church made the change...But the Protestant mind does not seem to realize that...In observing the Sunday, they are accepting the authority of the spokesman for the church, the Pope." Our Sunday Visitor, February 15, 1950.
Conclusion, and the Great Challenge!
"The Church changed the observance of the Sabbath to Sunday by right of the divine, infallible authority given to her by her founder, Jesus Christ. The Protestant claiming the Bible to be the only guide of faith, has no warrant for observing Sunday." The Catholic Universe Bulletin, August 14, 1942, p. 4.
"Sunday is founded, not of scripture, but on tradition, and is distinctly a Catholic institution. As there is no scripture for the transfer of the day of rest from the last to the first day of the week, Protestants ought to keep their Sabbath on Saturday and thus leave Catholics in full possession of Sunday." Catholic Record, September 17, 1893.
"Regarding the change from the observance of the Jewish Sabbath to the Christian Sunday, I wish to draw your attention to the facts:
"1) That Protestants, who accept the Bible as the only rule of faith and religion, should by all means go back to the observance of the Sabbath. The fact that they do not, but on the contrary observe the Sunday, stultifies them in the eyes of every thinking man.
"2) We Catholics do not accept the Bible as the only rule of faith. Besides the Bible we have the living Church, the authority of the Church, as a rule to guide us. We say, this Church, instituted by Christ to teach and guide man through life, has the right to change the ceremonial laws of the Old Testament and hence, we accept her change of the Sabbath to Sunday. We frankly say, yes, the Church made this change, made this law, as she made many other laws, for instance, the Friday abstinence, the unmarried priesthood, the laws concerning mixed marriages, the regulation of Catholic marriages and a thousand other laws....
"It is always somewhat laughable, to see the Protestant churches, in pulpit and legislation, demand the observance of Sunday, of which there is nothing in their Bible." Peter R. Kraemer, Catholic Church Extension Magazine, USA (1975),Chicago, Illinois, "Under the blessing of the Pope Pius XI"
"I am going to propose a very plain and serious question to those who follow ‘the Bible and the Bible only’ to give their most earnest attention. It is this: Why don’t you keep holy the Sabbath day?...
"The command of the Almighty God stands clearly written in the Bible in these words: ‘Remember the Sabbath day, to keep it holy. Six days shalt thou labor, and do all thy work; but the seventh day is the Sabbath of the Lord thy God; in it thou shalt not do any work.’ Exodus 20:8-10....
"You will answer me, perhaps, that you do keep the Sabbath; for that you abstain from all worldly business and diligently go to church, and say your prayers, and read your Bible at home every Sunday of your lives....
"But Sunday is not the Sabbath day. Sunday is the first day of the week: the Sabbath day is the seventh day of the week. Almighty God did not give a commandment that men should keep holy one day in seven; but He named His own day, and said distinctly: ‘Thou shalt keep holy the seventh day’; and He assigned a reason for choosing this day rather than any other - a reason which belongs only to the seventh day of the week, and cannot be applied to the rest. He says, ‘For in six days the Lord made heaven and earth, the sea and all that in them is, and rested on the seventh day: wherefore the Lord blessed the Sabbath day and hallowed it’, Exodus 20:11, Genesis 2:1-3. Almighty God ordered that all men should rest from their labor on the seventh day, because He too had rested on that day: He did not rest on Sunday, but on Saturday. On Sunday, which is the first day of the week, He began the work of creation; He did not finish it. It was on Saturday that He ‘ended His work which he had made: and God blessed the seventh day, and sanctified it: because that in it He had rested from all His work which God created and made.’ Genesis 2:2-3....
"Nothing can be more plain and easy to understand than all this; there is nobody who attempts to deny it. It is acknowledged by everybody that the day which Almighty God appointed to be kept holy was Saturday, not Sunday. Why do you then keep holy the Sunday and not Saturday?
"You will tell me that Saturday was the Jewish Sabbath, but that the Christian Sabbath has been changed to Sunday. Changed! But by whom? Who has the authority to change an express commandment of Almighty God? When God has spoken and said, ‘Thou shalt keep holy the seventh day’, who shall dare to say, ‘Nay, thou mayest work and do all manner of worldly business on the seventh day: but thou shalt keep holy the first day in its stead?’ This is a most important question, which I know not how you answer....
"You are a Protestant, and you profess to go by the Bible and the Bible only; and yet, in so important a manner as the observance of one day in seven as the holy day, you go against the plain letter of the Bible, and put another day in the place of that day which the Bible has commanded. The command to keep holy the seventh day is one of the Ten Commandments; you believe that the other nine are still binding. Who gave you authority to tamper with the fourth? If you are consistent with your own principles, if you really follow the Bible, and the Bible only you ought to be able to produce some portion of the New Testament in which this fourth commandment is expressly altered." Excerpts from "Why Don’t You Keep Holy the Sabbath Day?", pages 3-15 in The Clifton Tract, vol.4, published by the Roman Catholic Church about 1869.
"The arguments...are firmly grounded on the word of God, and having been closely studied with the Bible in hand, leave no escape for the conscientious Protestant except the abandonment of Sunday worship and the return to Saturday, commanded by their teacher, the Bible, or, unwilling to abandon the tradition of the Catholic Church, which enjoins the keeping of Sunday, and which they have accepted in direct opposition to their teacher, the Bible, consistently accept her (the Catholic Church) in all her teachings. Reason and common sense demand the acceptance of one or the other of these alternatives: either Protestantism and the keeping holy of Saturday, or Catholicism and the keeping holy of Sunday. Compromise is impossible." James Cardinal Gibbons, in Catholic Mirror, December 23, 1893.
• "In the old testament, reference is made 126 times to The Sabbath, and all these text conspire harmoniously in voicing the will of God commanded the Seventh Day to be kept, because god Himself first kept it, making it obligatory on ALL as 'a perpetual covenant.' Nor can we imagine any one foolhardly enough to question the identity of Saturday with the Sabbath or Seveth Day, seeing that the people of Iserael have been keeping the Saturday from the giving of the Law, A.M. 2514 to A.D. 1893, a period of 3383 years..." [ 1: note the calendar units are different from today's standard; 2: in 1992, it is 3,482 years]
• "Exmaining the new testament from cover to cover, critically, we find the Sabbath referred to 61 times. We find, too, that the Savior invariably selected the Sabbath (Saturday) to teach in the synagogues and work miracles. The 4 Gospels refer to the Sabbath (Saturday) 51 times.."
• "...the Redeemer refers to Himself as 'The Lord of the Sabbath'..." He never once hinted at a desire to change it... thus the Sabbath (Saturday) from Genesis to Revelation.
• "Hence the conclusion is inevitable... that of those who follow the Bible as their guide, the Iseralites and Severth-Day Adventists have the exclusive weight of evidence on their side, whilst the Biblical Protestant Has Not A Word In Self-Defense For His Substitution Of Sunday For Saturday..."
• "...Whilst the pharisees of old kept the True Sabbath, our modern pharisees HAVE NEVER ONCE IN THEIR LIVES KEPT THE TRUE SABBATH which their divine master kept to his dying day, and which his apostles kept, after his example, for 30 years afterward, according to sacred record.."
• "The Bible and the Sabbath constitue the watchword of Protestantism; But We Have Demonstrated That It Is The Bible Against Their Sabbath... We Have Shown That No Greater Contradition Ever Existed That Their Theory Than Their Theory And Practice! We have proved that neither their Biblical ancestors nor themselves have ever kept One Sabbath Day in their lives..."
Now remember, this was from the pen of an extremely knowledgeable Catholic Theologian -- and he told it exactly like it is... Want more? Read on.
• "The Catholic Church for over 1,000 years before the existence of a Protestant, by virtue of her divine mission, changed the day from Saturday to Sunday..."
• "We say by virtue of her divine mission, because he who called himself the 'Lord of The Sabbath' endowed her with his own power to teach, 'He That hearth You, hearth Me'... and promised to be with her to the end of the world. She holds her charter from him -- a charter as INFALLIBLE and PERPETUAL..."
"The Protestant world at its birth Found The Christian Sabbath (Sunday) Too Strongly Entrenched To Run Counter To Its Existence... It was therefore placed under the necessity of ACQUESCING in the arrangement, thus implying the Church's Right To Change The Day, for over 300 years.."
• "The Iseralites And Seventh-Day Adventists Are Witnesses Of This Weekly Desecration of The Day Named By God So Repeatedly..."
• "The history of the world cannot present a more stupid, self-stulifying specimen of dereliction of principle than this... that immense concourse of Bible Christians, the Methodists, have declared that the Sabbath has Never Been Abrogates, whilst the followers of the Church of England, together with her daughter, the Episcopal Church of the United States, are commited by the 20th article of religion that the church CANNOT LAWFULLY ORDAIN ANYTHING, 'Contrary To God's Written Word,' yet God's Written Word enjoins his worship to be observed on Saturday absolutely, repeatedly, and most EMPHATICALLY... all Biblical sects occupy the same self-stultifying position which no explaination can modify, much less justify."
• "They have IGNORED and CONDEMNED their teacher, the Bible... and they have adopted a day kept by the Catholic Church.. the 'Mother of Aboninations'..."
• "...their Pretense for leaving the bosom of the Catholic Church was for Apostasy from the truth As Taught In The Written Word. They adopted the Written Word as their sole teacher, which they had no sooned done than they Abandoned It, as these articles have abundantly proved..."
Shocking, isn't it. Rome's Challenege to all Protestants. By the way, the prophet ISAIAH clealy foretold that the Sabbath would be falsely done away with, but then reestablished...!"
The USA Made A Sunday-Law?!?
In 1893 the United States Congress and the Supreme Court, delcaring our country to be "a Christian Nation," passed the orders that the World's Fair was to be C L O S E D O N S U N D A Y S ...
The Internation Religious Liberty Association of the General Conference Of The Severth-Day Adventist Church published a 21-page brochure which sited the fact that: It Is Improper For Our Government To Legislate Public Behavior In Regard To "Religious" Matters... .. It's called "Separation Of Church And State"
See, if people didn't want to attend the World's Fair on "Sunday," they could stay home! But by passing a Law to Stop All From Attending, that's getting very close to Legislating Religion.
Remember how law works, if you give someone the right to prevent you from doing something you are giving them jurisdiction of that matter. A reversal could come about enforcing you to do something. A good cited example is to create a law to "prevent abortions". While you may or not agree with abortion issues, handing that right to the government also gives them the right in the future to insit that an aborton be had. Our law system isn't perfect.
The Adventists outlines their belief in worshiping the Lord on His Saturday Sabbath Day, via "free will," and the Catholic Mirror wrote their articles to VERIFY that "Saturday" is the Bible Sabbath Day.
The Catholic Mirror was the official organ of Cardinal Gibbons and the Papacy in America. A 32-page pamphlet called Rome's Challenge reprints four editorials back in September 2, 9, 16, and 23 of 1893.
Tradition, What Does Christ Say About It?
"Why do ye also transgress the commendment of God by your TRADITION?" -- Jesus, MATT 15:3
The Jews had enacted a rule that let a person by-pass leaving his possessions to his parents in case of his dying, which ran contrary to the commandment to "honor thy father and thy mother."
"...thus have ye made the commandment of God of NONE EFFECT by your TRADITION" -- Matt 15:6
Clearly, the Lord is NOT pleased with us following the "traditions" of men in place of His commandments.
"But in vain do they worship me, teaching for doctrines the commandments of men," said the Lord in Matthew 15:9. But this is exactly what the Catholic Church has perpetrated. And when Protestants endorse worshipping on "Sundays," they SUPPORT THE ROMAN CHURCH'S "TRADTIONS"...!
Tradition, The Council of Trent, and a Great Debate Lost
It was at the Council of Trent that the Catholic Church formulated its permanent fundamentals of the Catholic Creed -- these series of sessions were held to consider the questions that had been raised and forced upon the attention of Europe by the PROTESTANT REFORMERS: The reformers had charged that the Catholic Church has APOSTATIZED from the truth "as contained in the written word." Thus was the proclaimed platform of the reformation and of protestantism: The Written Word, "The Bible and Only The Bible Only," these were their constant watchwords...
...but the Catcholics insisted on "the scripture and TRADTION," the Bible as INTERPRETED BY THE CHURCH and the reasoning of its "holy fathers," the Popes and Bishops, etc.. of earlier generations...
Incidently, these meetings lasted for over 27 years. The reason for their first recess was due to a plague in Trent, then the Council was frequently adjourned when they could not reach agreement.
There was a strong party even of the Catholics within the council who were in favor of abandoning "tradition" and adopting THE SCRIPTURES ONLY as the standard of authority. The view was so decidedly held in the debates that the Pope's legates actually wrote to him that there was "a strong tendency to set aside tradition altogether and to make scripture the sole standard of appeal." But to do this would manifestly be a big step towards justifying the clains of the protestants...
By this crisis there was develoepd within the ultra-catholic portion of the council the task of convincing the others that "scripture and TRADITION" were the only sure ground to stand upon -- if this could be done, the council could be convinced to issue a decree CONDEMING THE REFORMATION, otherwise not...
The question was debated day adter day, until the council was brought to a standstill. finally, after a long and intensive debate, the ARCHBISHOP OF REGGIO introduced into the council substancially the following argument:
The PROTESTANTS claim to stand upon "the written word only" -- the profess to hold the SCRIPTURE ALONE as the standard point fo faith. The justify their revolt by the plea that the church has apostatized from the written word and follows TRADITION. Now the protestants' claim, that they stand upon the written word only, IS NOT TRUE. Their profession of hodling "the scripture alone as the standard of faith" is FALSE!
THE PROOF: The written word explictly enjoins the observance of the Seventh Day as the Sabbath. They do NOT observe the seventh day, but REJECT IT! If they do truely hold the scriptures alone as their standard, they would be observing the Seventh Day as in enjoined in the scripture throughout! Yet they now only REJECT THE OBSERVANCE OF THE SABBATH ENJOINED IN THE WRITTEN WORD, but they have adopted and do practice the observance of SUNDAY, for which they have ONLY THE TRADITION OF THE CHURCH... Consequently the claim of "scripture alone as the standard" FAILS, and the doctrine of "scripture and TRADITION" as essential, is FULLY ESTABLISHED, THE PROTESTANTS THEMSELVES BEING THE JUDGES!
By the observation the archbishop scored a telling point, for the protestants' OWN STATES OF FAITH (the augsburg confession of 1530) had CLEARLY ADMITTED that "the observation of the Lord's Day" HAD BEEN APPOINTED BY THE CHURCH ONLY.
The arguement was hailed in the council as PURE INSPIRATION -- the party for "scripture alone" SURRENDERED... and the council at once UNANIMOUSLY CONDEMNED PROTESTANTISM and THE WHOLE REFORMATION AS ONLY AN UNWARRANTED REVOLT FROM THE COMMUNION AND AUTHORITY OF THE CATHOLIC CHURCH...
(This information is from the Rome's Challenge pamphlet, pages 25-27.)
Thus it was the INCONSISTENCY of the protestant practice with "protestant profession" that gave to the Catholic Church her long-sought and anxiously desired ground upon which to condemn protestantism and the whole reformation movement... All because the Protestants rejected the Bible's Holy seventh-Day Sabbath.
...so the Catholics won out, and the Protestants failed in winning an important victory for the Lord. "Tradition" was to continue.
Plain Statements
"Is not every Christian obliged to sanctify Sunday and to abstain on that day from unnecessary servile work? Is not the observance of this law among the most prominent of our sacred duties? But you may read the Bible from Genesis to Revelation, and you will not find a single line authorizing the sanctification of Sunday. The Scriptures enforce the religious observance of Saturday, a day which we never sanctify." James Cardinal Gibbons, The Faith of Our Fathers (1917 edition), p. 72-73 (16th Edition, p 111; 88th Edition, p. 89).
"For example, nowhere in the Bible do we find that Christ or the Apostles ordered that the Sabbath be changed from Saturday to Sunday. We have the commandment of God given to Moses to keep holy the Sabbath day, that is the 7th day of the week, Saturday. Today most Christians keep Sunday because it has been revealed to us by the [Roman Catholic] church outside the Bible." Catholic Virginian, October 3, 1947, p. 9, article "To Tell You the Truth."
Who Made Sunday Holy?
"Written by the finger of God on two tables of stone, this Divine code (ten commandments) was received from the Almighty by Moses amid the thunders of Mount Sinai...Christ resumed these Commandments in the double precept of charity--love of God and of the neighbour; He proclaimed them as binding under the New Law in Matthew 19 and in the Sermon on the Mount (Matthew 5)....The (Catholic) Church, on the other hand, after changing the day of rest from the Jewish Sabbath, or seventh day of the week, to the first, made the Third Commandment refer to Sunday as the day to be kept holy as the Lord's Day....He (God) claims one day out of the seven as a memorial to Himself, and this must be kept holy..." The Catholic Encyclopedia, vol. 4, "The Ten Commandments", 1908 edition by Robert Appleton Company; and 1999 On-line edition by Kevin Knight, Imprimatur, John M. Farley, Archbishop of New York.
"Question: How prove you that the church had power to command feasts and holydays?
"Answer: By the very act of changing the Sabbath into Sunday, which Protestants allow of; and therefore they fondly contradict themselves by keeping Sunday strictly, and breaking most other feasts commanded by the same church.
"Question: Have you any other way of proving that the church has power to institute festivals of precept?
"Answer: Had she not such power, she could not a done that in which all modern religionists agree with her; -she could not have substituted the observance of Sunday the first day of the week, for the observance of Saturday the seventh day of the week, a change for which there is no Scriptural authority." Stephen Keenan, A Doctrinal Catechism On the Obedience Due to the Church, 3rd edition, Chapter 2, p. 174 (Imprimatur, John Cardinal McCloskey, Archbishop of New York).
"Perhaps the boldest thing, the most revolutionary change the Church ever did, happened in the first century. The holy day, the Sabbath, was changed from Saturday to Sunday. ‘The day of the Lord’ was chosen, not from any direction noted in the Scriptures, but from the Church's sense of its own power....People who think that the Scriptures should be the sole authority, should logically...keep Saturday holy." St. Catherine Church Sentinel, Algonac, Michigan, May 21, 1995.
"Nowhere in the Bible is it stated that worship should be changed from Saturday to Sunday....Now the Church...instituted, by God's authority, Sunday as the day of worship. This same Church, by the same divine authority, taught the doctrine of Purgatory long before the Bible was made. We have, therefore, the same authority for Purgatory as we have for Sunday." Martin J. Scott, Things Catholics Are Asked About, 1927 edition, p. 136.
"Question - Which is the Sabbath day?
"Answer - Saturday is the Sabbath day.
"Question - Why do we observe Sunday instead of Saturday?
"Answer - We observe Sunday instead of Saturday because the Catholic Church, in the Council of Laodicea (A.D. 364), transferred the solemnity from Saturday to Sunday." Peter Geiermann, C.S.S.R., The Convert's Catechism of Catholic Doctrine, p. 50, 3rd edition, 1957.
"Is Saturday the seventh day according to the Bible and the Ten Commandments? I answer yes. Is Sunday the first day of the week and did the Church change the seventh day - Saturday - for Sunday, the first day? I answer yes. Did Christ change the day'? I answer no!"
"Faithfully yours, J. Card. Gibbons." James Cardinal Gibbons, Archbishop of Baltimore, Md. (1877-1921), in a signed letter.
"Q.- How prove you that the Church hath power to command feasts and holy days?
"A.- By the very act of changing Sabbath into Sunday which Protestants allow of; and therefore they fondly contradict themselves, by keeping Sunday strictly, and breaking most other feasts commanded by the same Church.
"Q.-How prove you that?
"A.-Because by keeping Sunday, they acknowledge the Church's power to ordain feasts, and to command them under sin: and by not keeping the rest by her commanded, they again deny, in fact, the same power." An Abridgment of the Christian Doctrine, composed by Henry Tuberville, p. 58.
"Some theologians have held that God likewise directly determined the Sunday as the day of worship in the New Law, that He Himself has explicitly substituted the Sunday for the Sabbath. But this theory is now entirely abandoned. It is now commonly held that God simply gave His Church the power to set aside whatever day or days she would deem suitable as Holy Days. The Church chose Sunday, the first day of the week, and in the course of time added other days as holy days." John Laux, A Course in Religion for Catholic High Schools and Academies, 1936 edition, vol. 1, p. 51.
"Question. What warrant have you for keeping Sunday preferably to the ancient sabbath which was Saturday?
"Answer. We have for it the authority of the Catholic church and apostolic tradition.
"Question. Does the Scripture anywhere command the Sunday to be kept for the Sabbath?
"Answer. The Scripture commands us to hear the church (St.Matt.18:17; St. Luke 10:16), and to hold fast the traditions of the apostles. 2 Thess 2:15. But the Scripture does not in particular mention this change of the sabbath.
"St John speaks of the Lord's day (Rev 1:10) but he does not tell us what day of the week that was, much less does he tell us what day was to take the place of the Sabbath ordained in the commandments. St.Luke speaks of the disciples meeting together to break bread on the first day of the week. Acts 20:7. And St. paul (1 Cor.16:2) orders that on the first day of the week the Corinthians should lay in store what they designated to bestow in charity on the faithful in Judea: but neither the one or the other tells us that this first day of the week was to be henceforth a day of worship, and the Christian Sabbath; so that truly the best authority we have for this ancient custom is the testimony of the church. And therefore those who pretend to be such religious observers of Sunday, whilst they take no notice of other festivals ordained by the same church authority, show that they act more by humor, than by religion; since Sundays and holidays all stand upon the same foundation, namely the ordinance of the church." Catholic Christian Instructed, 17th edition, p. 272-273.
"Protestantism, in discarding the authority of the (Roman catholic) Church, has no good reasons for its Sunday theory, and ought logically to keep Saturday as the Sabbath." John Gilmary Shea, American Catholic Quarterly Review, January, 1883.
"The Catholic church for over one thousand years before the existence of a Protestant, by virtue of her divine mission, changed the day from Saturday to Sunday....The Protestant World at its birth found the Christian Sabbath too strongly entrenched to run counter to its existence; it was therefore placed under the necessity of acquiescing in the arrangement, thus implying the (Catholic) Church's right to change the day, for over three hundred years. The Christian Sabbath is therefore to this day, the acknowledged offspring of the Catholic Church as spouse of the Holy Ghost, without a word of remonstrance from the Protestant World." James Cardinal Gibbons in the Catholic Mirror, September 23, 1983.
Whose Day of Worship is Sunday?
"They [the Protestants] deem it their duty to keep the Sunday holy. Why? Because the Catholic Church tells them to do so. They have no other reason....The observance of Sunday thus comes to be an ecclesiastical law entirely distinct from the divine law of Sabbath observance....The author of the Sunday law...is the Catholic Church." Ecclesiastical Review, February, 1914.
"The Sunday...is purely a creation of the Catholic Church." American Catholic Quarterly Review, January, 1883.
"Sunday...is the law of the Catholic Church alone..." American Sentinel (Catholic), June, 1893.
"Sunday is a Catholic institution and its claim to observance can be defended only on Catholic principles....From beginning to end of Scripture there is not a single passage that warrants the transfer of weekly public worship from the last day of the week to the first." Catholic Press, Sydney, Australia, August, 1900.
"It is well to remind the Presbyterians, Baptists, Methodists, and all other Christians, that the Bible does not support them anywhere in their observance of Sunday. Sunday is an institution of the Roman Catholic Church, and those who observe the day observe a commandment of the Catholic Church." Priest Brady, in an address reported in The News, Elizabeth, New Jersey, March 18, 1903.
Who Are We Reverencing, Bowing and Paying Homage to
by Keeping Sunday Holy?
"The authority of the church could therefore not be bound to the authority of the Scriptures, because the Church had changed...the Sabbath into Sunday, not by command of Christ, but by its own authority." Canon and Tradition, p. 263.
"From this we may understand how great is the authority of the church in interpreting or explaining to us the commandments of God - an authority which is acknowledged by the universal practice of the whole Christian world, even of those sects which profess to take the holy Scriptures as their sole rule of faith, since they observe as the day of rest not the seventh day of the week demanded by the Bible, but the first day. Which we know is to be kept holy, only from the tradition and teaching of the Catholic church." Henry Gibson, Catechism Made Easy, # 2, 9th edition, vol. 1, p. 341-342.
"It was the Catholic church which...has transferred this rest to Sunday in remembrance of the resurrection of our Lord. Therefore the observance of Sunday by the Protestants is an homage they pay, in spite of themselves, to the authority of the (Catholic) church." Monsignor Louis Segur, Plain Talk About the Protestantism of Today, p. 213.
"Sunday is our mark or authority...the church is above the Bible, and this transference of Sabbath observance is proof of that fact." Catholic Record of London, Ontario, September 1,1923.
"Of course the Catholic Church claims that the change (Saturday Sabbath to Sunday) was her act...And the act is a mark of her ecclesiastical authority in religious things." H.F. Thomas, Chancellor of Cardinal Gibbons.
"I have repeatedly offered $1,000 to anyone who can prove to me from the Bible alone that I am bound to keep Sunday holy. There is no such law in the Bible. It is a law of the holy Catholic Church alone. The Bible says, ‘Remember the Sabbath day to keep it holy.’ The Catholic Church says: ‘No. By my divine power I abolish the Sabbath day and command you to keep holy the first day of the week.’ And lo! The entire civilized world bows down in a reverent obedience to the command of the holy Catholic Church." father T. Enright, C.S.S.R. of the Redemptoral College, Kansas City, in a lecture at Hartford, Kansas, February 18, 1884, printed in History of the Sabbath, p. 802.
"Protestants...accept Sunday rather than Saturday as the day for public worship after the Catholic Church made the change...But the Protestant mind does not seem to realize that...In observing the Sunday, they are accepting the authority of the spokesman for the church, the Pope." Our Sunday Visitor, February 15, 1950.
Conclusion, and the Great Challenge!
"The Church changed the observance of the Sabbath to Sunday by right of the divine, infallible authority given to her by her founder, Jesus Christ. The Protestant claiming the Bible to be the only guide of faith, has no warrant for observing Sunday." The Catholic Universe Bulletin, August 14, 1942, p. 4.
"Sunday is founded, not of scripture, but on tradition, and is distinctly a Catholic institution. As there is no scripture for the transfer of the day of rest from the last to the first day of the week, Protestants ought to keep their Sabbath on Saturday and thus leave Catholics in full possession of Sunday." Catholic Record, September 17, 1893.
"Regarding the change from the observance of the Jewish Sabbath to the Christian Sunday, I wish to draw your attention to the facts:
"1) That Protestants, who accept the Bible as the only rule of faith and religion, should by all means go back to the observance of the Sabbath. The fact that they do not, but on the contrary observe the Sunday, stultifies them in the eyes of every thinking man.
"2) We Catholics do not accept the Bible as the only rule of faith. Besides the Bible we have the living Church, the authority of the Church, as a rule to guide us. We say, this Church, instituted by Christ to teach and guide man through life, has the right to change the ceremonial laws of the Old Testament and hence, we accept her change of the Sabbath to Sunday. We frankly say, yes, the Church made this change, made this law, as she made many other laws, for instance, the Friday abstinence, the unmarried priesthood, the laws concerning mixed marriages, the regulation of Catholic marriages and a thousand other laws....
"It is always somewhat laughable, to see the Protestant churches, in pulpit and legislation, demand the observance of Sunday, of which there is nothing in their Bible." Peter R. Kraemer, Catholic Church Extension Magazine, USA (1975),Chicago, Illinois, "Under the blessing of the Pope Pius XI"
"I am going to propose a very plain and serious question to those who follow ‘the Bible and the Bible only’ to give their most earnest attention. It is this: Why don’t you keep holy the Sabbath day?...
"The command of the Almighty God stands clearly written in the Bible in these words: ‘Remember the Sabbath day, to keep it holy. Six days shalt thou labor, and do all thy work; but the seventh day is the Sabbath of the Lord thy God; in it thou shalt not do any work.’ Exodus 20:8-10....
"You will answer me, perhaps, that you do keep the Sabbath; for that you abstain from all worldly business and diligently go to church, and say your prayers, and read your Bible at home every Sunday of your lives....
"But Sunday is not the Sabbath day. Sunday is the first day of the week: the Sabbath day is the seventh day of the week. Almighty God did not give a commandment that men should keep holy one day in seven; but He named His own day, and said distinctly: ‘Thou shalt keep holy the seventh day’; and He assigned a reason for choosing this day rather than any other - a reason which belongs only to the seventh day of the week, and cannot be applied to the rest. He says, ‘For in six days the Lord made heaven and earth, the sea and all that in them is, and rested on the seventh day: wherefore the Lord blessed the Sabbath day and hallowed it’, Exodus 20:11, Genesis 2:1-3. Almighty God ordered that all men should rest from their labor on the seventh day, because He too had rested on that day: He did not rest on Sunday, but on Saturday. On Sunday, which is the first day of the week, He began the work of creation; He did not finish it. It was on Saturday that He ‘ended His work which he had made: and God blessed the seventh day, and sanctified it: because that in it He had rested from all His work which God created and made.’ Genesis 2:2-3....
"Nothing can be more plain and easy to understand than all this; there is nobody who attempts to deny it. It is acknowledged by everybody that the day which Almighty God appointed to be kept holy was Saturday, not Sunday. Why do you then keep holy the Sunday and not Saturday?
"You will tell me that Saturday was the Jewish Sabbath, but that the Christian Sabbath has been changed to Sunday. Changed! But by whom? Who has the authority to change an express commandment of Almighty God? When God has spoken and said, ‘Thou shalt keep holy the seventh day’, who shall dare to say, ‘Nay, thou mayest work and do all manner of worldly business on the seventh day: but thou shalt keep holy the first day in its stead?’ This is a most important question, which I know not how you answer....
"You are a Protestant, and you profess to go by the Bible and the Bible only; and yet, in so important a manner as the observance of one day in seven as the holy day, you go against the plain letter of the Bible, and put another day in the place of that day which the Bible has commanded. The command to keep holy the seventh day is one of the Ten Commandments; you believe that the other nine are still binding. Who gave you authority to tamper with the fourth? If you are consistent with your own principles, if you really follow the Bible, and the Bible only you ought to be able to produce some portion of the New Testament in which this fourth commandment is expressly altered." Excerpts from "Why Don’t You Keep Holy the Sabbath Day?", pages 3-15 in The Clifton Tract, vol.4, published by the Roman Catholic Church about 1869.
"The arguments...are firmly grounded on the word of God, and having been closely studied with the Bible in hand, leave no escape for the conscientious Protestant except the abandonment of Sunday worship and the return to Saturday, commanded by their teacher, the Bible, or, unwilling to abandon the tradition of the Catholic Church, which enjoins the keeping of Sunday, and which they have accepted in direct opposition to their teacher, the Bible, consistently accept her (the Catholic Church) in all her teachings. Reason and common sense demand the acceptance of one or the other of these alternatives: either Protestantism and the keeping holy of Saturday, or Catholicism and the keeping holy of Sunday. Compromise is impossible." James Cardinal Gibbons, in Catholic Mirror, December 23, 1893.
Langganan:
Postingan (Atom)